Mengenai Saya

Foto saya
Hidup ini indah, maka hiasilah kehidupan ini dengan keindahan

Jumat, 25 Februari 2011

Hermeneutik pada Sastra Islam Melayu


Oleh : Bambang Hendarta Suta Purwana

1. Sastra Islam Melayu Sebagai Media Sosialisasi Nilai-Nilai Keagamaan

Sastra Islam Melayu1 atau sastra tentang orang Islam yang ditulis dalam bahasa Melayu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. (1) Sebagian besar dari sastra ini merupakan hasil terjemahan atau saduran yang berasal dari bahasa Arab atau Parsi. Terjemahan dan saduran itu dilakukan oleh dua kelompok orang, yaitu orang-orang Melayu Nusantara yang belajar di tanah Arab dan para pedagang dari India Selatan yang datang ke pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Hasil karya kelompok pertama berupa kitab yang berunsur keagamaan, sedangkan hasil karya kelompok kedua berupa hikayat-hikayat yang bersifat hiburan. Ada yang berpendapat bahwa karya sastra dari kelompok penyadur kedua sastra Melayu ini disebut sastra dagang. (2) Hampir semua hasil karya Islam Melayu tidak diketahui nama pengarang atau tarikh penulisannya (Fang, 1991: 204).

R. Roolvi nk menyatakan bahwa kaidah yang paling baik untuk mengkaji sastra yang dihasilkan di bawah pengaruh Islam itu adalah membaginya menjadi beberapa kategori, yaitu:

1. Cerita Alquran;
2. Cerita Nabi Muhammad;
3. Cerita Sahabat Nabi Muhammad;
4. Cerita Pahlawan Islam;
5. Sastra Kitab (Fang, 1991: 204-205).

Cerita Alquran adalah cerita yang mengisahkan nabi-nabi atau tokoh-tokoh yang namanya disebut di dalam Alquran. Cerita Alquran ini juga berisi cerita nabi-nabi yang paling terkenal. Cerita Alquran dalam bahasa Melayu terkenal dengan nama Kisah Al-anbiya. Cerita tentang Nabi Muhammad sebenarnya dapat dibagi dalam tiga kategori, yakni (1) cerita yang mengisahkan riwayat Nabi Muhammad dari semenjak lahir hingga wafatnya; (2) cerita tentang mukjizat Nabi Muhammad; (3) cerita maghazi, yaitu cerita peperangan yang disertai Nabi Muhammad untuk mengembangkan agama Islam. Cerita Sahabat Nabi berisi kisah-kisah orang-orang yang menjadi sahabat Nabi Muhammad. Pengertian sahabat nabi merujuk pada orang-orang yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad, tetapi pengertian ini kemudian diperluas maknanya hingga meliputi semua orang yang pernah bertemu atau bercakap dengan Nabi Muhammad. Cerita Pahlawan Islam biasanya mengisahkan tokoh-tokoh sejarah yang hidup sebelum munculnya agama Islam. Karena sumbangan mereka pada perkembangan Islam atau karena perbuatan mereka yang menakjubkan, mereka lalu dijadikan pahlawan penyebar ajaran agama Islam. Contoh dari Cerita Pahlawan Islam adalah Hikayat Iskandar Zulkarnain dan Hikayat Amir Hamzah. Kategori kelima adalah Sastra Kitab. Sastra Kitab mencakup suatu bidang yang luas sekali, termasuk di dalamnya ilmu kalam, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf2 (Fang, 1991: 205-286).

Sebagian besar naskah sastra Islam Melayu diduga merupakan naskah salinan dari naskah asli atau juga salinan yang dibawa oleh para saudagar dari Arab atau India Selatan. Dalam tradisi kesusasteraan Melayu, terjadi kecenderungan untuk melakukan penyalinan naskah degan tujuan untuk mengatasi kerusakan naskah yang asli karena kualitas kertas yang pada umumnya jelek3. Sering terjadi naskah yang disalin, teksnya sudah rusak sehingga naskah salinan bersifat hipotesis hasil dari rekonstruksi naskah aslinya. Selain itu, penyalin juga merupakan subjek yang kreatif sehingga dapat terjadi penyimpangan dalam teks, adalah perbedaan yang disengaja. Teks salinannya dapat lebih indah dan lebih sesuai dengan selera masyarakat serta kehendak zaman. Kalau begitu, setiap naskah — walaupun salinan — adalah cerminan zamannya yang patut dinilai tersendiri (Sudjiman, 1995: 10-11).

Naskah sastra Islam Melayu, sebagai salah satu wujud dari sastra Islam Melayu, memiliki fungsi sosial4 dalam proses penyebaran agama Islam pada penduduk di Asia Tenggara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca5. Fungsi sosial naskah sastra Islam Melayu itu adalah peranannya sebagai media penyebaran dan sosialisasi dasar-dasar ajaran agama Islam kepada penduduk di kawasan Asia Tenggara yang berbahasa Melayu. Ajaran keagamaan itu mengandung nilai-nilai humanisme yang bersifat universal sehingga memungkinkan agama Islam diterima oleh sebagian besar penduduk di kawasan Asia Tenggara sebagai salah satu agama dunia6. Penyebaran agama Islam di Asia Tenggara dilakukan oleh para pedagang dari tanah Arab dan India Selatan7. Salah satu upaya penyebaran agama Islam itu adalah dengan menyalin kitab-kitab yang berisi ajaran agama Islam dan menerjemahkan sebagian dari kitab-kitab tersebut dalam bahasa Melayu. Proses seperti ini disebut indigenization8 atau pemribumian ajaran-ajaran agama Islam yang bersifat universal menjadi ajaran agama yang kontekstual dengan keadaan sosial budaya masyarakat setempat.

2. Peran Sastra Islam Melayu sebagai Dokumentasi Nilai-Nilai Budaya Masa Lalu dan Sumber Nilai-Nilai Budaya Transformatif

Teks9 sastra Islam Melayu ditulis dalam bahasa Melayu dan menggunakan huruf Arab Melayu, yang juga disebut huruf Jawi10 itu, merupakan dokumentasi kehidupan spiritual nenek moyang bangsa Indonesia serta memberikan gambaran yang memadai tentang alam pikiran dan lingkungan hidupnya11. Dari pendekatan sosiologi sastra, hal ini merupakan aspek dokumenter sastra. Asumsinya, sastra merupakan cermin dari nilai-nilai budaya yang hidup pada zaman karya itu diciptakan (Damono, 1984: 9). Teeuw (1984: 229) berpendapat bahwa hal seperti ini merupakan aspek mimesis dalam penciptaan karya sastra. Kenyataan sosial berpengaruh besar dan mengarahkan makna yang terkandung dalam suatu karya sastra.

Naskah-naskah Melayu yang ada pada saat sekarang ini pada umumnya bukan naskah asli atau arketipe, melainkan salinannya (Sudjiman, 1995: 47). Apabila dugaan ini benar, banyaknya salinan naskah itu berarti menandakan pentingnya naskah tersebut dalam pandangan masyarakatnya. Suatu karya sastra yang dikenal luas dalam masyarakat berarti pesan moral dalam karya sastra tersebut dipahami dan diterima sebagai bagian dari sistem acuan perilaku warga masyarakat. Hal ini berkaitan dengan fungsi sosial dari karya sastra, yakni permasalahan tentang seberapa jauh nilai-nilai budaya dalam karya sastra berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan sosial suatu masyarakat (Damono, 1984: 4—5). Hal itu memberikan indikasi bahwa nilai-nilai budaya yang terkandung dalam naskah-naskah sastra Islam Melayu banyak diapresiasi oleh khalayak pembacanya dan besar kemungkinannya nilai-nilai budaya yang terkandung dalam naskah ini memberikan kontribusi yang penting dalam pembentukan tata nilai budaya masyarakat di berbagai daerah Nusantara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan hidup sehari-hari. Dari sisi inilah, karya sastra dapat berperan sebagai the social construction of reality (Teeuw, 1984: 226—230). Hubungan antara karya sastra dengan kenyataan sosial bukanlah hubungan yang searah, sebelah, atau sederhana. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh tiga macam saringan kelir atau layar, yakni kelir konvensi bahasa, kelir konvensi sosio-budaya, dan kelir sastra yang menyaring dan menentukan kesan pembaca dan mengarahkan pengamatan dan penafsiran pembaca terhadap kenyataan sosial. Karya sastra dapat membantu manusia dalam menafsirkan kenyataan hidup sehari-hari. Dari aspek inilah, nilai-nilai keagamaan dalam teks sastra Islam Melayu dapat berperan menjadi nilai-nilai budaya yang transformatif, yakni nilai-nilai keagamaan itu menjadi kerangka acuan berpikir, bersikap, dan bertindak bagi orang yang membacanya.

Dari peran teks sastra Islam Melayu sebagai wahana dokumentasi nilai-nilai budaya masa lalu dan sebagai sumber nilai-nilai budaya transformatif, dapat dicari relevansinya dengan tata kehidupan sosial pada saat ini. Kegiatan pengkajian teks sastra Islam Melayu penting dilakukan pada saat ini untuk menggali nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya sebagai bahan dalam membina dan mengembangkan kebudayaan nasional. Dengan mengkaji teks sastra Islam Melayu itu, dapat dipahami dan dihayati pandangan serta cita-cita yang menjadi pedoman hidup nenek moyang bangsa Indonesia. Kebudayaan masa lampau merupakan tempat berakar dan berpijaknya pandangan hidup dan cita-cita bangsa Indonesia (Sudjiman, 1995: 46). Dari sisi inilah, dapat dipahami alam pikiran12 nenek moyang bangsa Indonesia yang merupakan akar dan tempat berpijak terbentuknya kebudayaan nasional bangsa Indonesia pada saat ini. Selain itu, nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam teks sastra Islam Melayu dapat dipergunakan sebagai kerangka acuan dalam membina dan mengembangkan kebudayaan nasional.

3. Kerangka Penafsiran Hermeneutik Sastra Islam Melayu

Naskah-naskah lama di Indonesia menyimpan sejumlah informasi masa lampau mengenai berbagai segi kehidupan. Di antara yang belum banyak mendapat sentuhan penelitian adalah naskah-naskah lama penyimpan ajaran agama, khususnya ajar an agama Islam. Naskah-naskah tersebut pada saat ini sedang menunggu perhatian untuk diteliti (Baried; Sutrisno; Soeratno; Sawu; dan Istanti, 1994: 11).

Setiap peneliti sastra bertanggung jawab terhadap suatu karya sastra yang sedang dikajinya, yakni tanggung jawab untuk menggali kandungan makna pada saat karya sastra diciptakan. Namun, tanggung jawab itu tidak seperti seorang pengumpul benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali. Peneliti karya sastra wajib memberikan penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh orang pada masa kini (Damono, 1984: 5). Jadi, tugas peneliti sastra adalah mengungkap kandungan makna yang tersurat dan tersirat dalam teks sekaligus menafsirkan makna tersebut dalam perspektif masa kini atau mengungkap relevansi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam suatu teks dengan tata sosial kehidupan masyarakat pada saat ini. Permasalahan pertama yang dihadapi peneliti dalam melaksanakan tanggung jawabnya adalah bagaimana peneliti yang hidup pada saat sekarang ini mampu memahami makna yang terkandung dalam naskah lama. Inti permasalahan tersebut adalah bagaimana peneliti dapat memahami kandungan nilai-nilai budaya yang tersurat dan tersirat dalam naskah sastra Islam Melayu, padahal naskah itu ditulis pada masa lampau yang latar belakang sosial budaya masyarakatnya berbeda dengan masyarakat saat ini13. Naskah tulisan hasil cipta masa lampau, pada saat ini berada dalam kondisi yang tidak selalu dapat diterima dengan jelas dan sering dikatakan "gelap" atau "tidak jelas" oleh pembaca masa sekarang. Sebagai akibatnya, banyak karya tulisan masa lampau dirasakan tidak mudah dipahami (Baried; Sutrisno; Soeratno; Sawu; Istanti, 1994: 1).

Permasalahan kedua yang tidak kalah rumitnya adalah menafsirkan kandungan nilai-nilai budaya dalam naskah sastra Islam Melayu dalam perspektif masa kini sehingga dapat dirumuskan relevansinya dengan pengembangan kebudayaan nasional bangsa Indonesia saat ini.

Salah satu kerangka pemahaman yang dapat membantu untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah hermeneutik14. Hermeneutik pada awalnya dikembangkan oleh para teolog Kristen dalam menafsirkan Bible. Permasalahan yang mendasari lahirnya kerangka pemikiran ini adalah bagaimana manusia sekarang mampu memahami atau menginterpretasikan makna yang terkandung dalam Bible yang ditulis pada masa lampau. Dapatkah orang menafsirkan makna yang dihayati orang lain atau dapatkah orang menafsirkan alam pikiran dan perilaku orang dari periode sejarah yang berbeda? Hermeneutik sering didefinisikan sebagai "studi pemahaman" atau "teori tentang filsafat interpretasi makna" (Wolff, 1991: 188). Dalam bidang kajian sastra, hermeneutik diartikan sebagai ilmu atau keahlian menginterpretasikan karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas maksudnya (Teeuw, 1984: 123).

Hans-Georg Gadamer, seorang pemikir hermeneutik, berpendapat bahwa maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Teks bersifat otonom15, teks mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari penulis dan pembacanya. Interpretasi teks itu oleh seorang pembaca tidak dapat tidak berarti pemberian makna sesuai dengan situasi si pembaca. Interpretasi teks selalu merupakan Horizontverschnelzung atau pembauran cakrawala,16 yakni dalam proses pemahaman oleh seorang pembaca berlangsung pembauran cakrawala, perpaduan antara cakrawala masa lampau saat teks itu tercipta dan cakrawala masa kini si pembaca (Teeuw, 1984: 174).

Gadamer berpendapat bahwa dalam setiap penelitian selalu diawali dengan hipotesis dan orientasi awal. Dalam studi hermeneutik, orientasi awal itu menurut Gadamer kurang lebih sama pengertiannya dengan praanggapan (prejudice). Praanggapan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam studi hermeneutik karena suatu interpretasi yang tepat dapat tercapai apabila praanggapan-praanggapan yang diajukan oleh peneliti bisa dibetulkan dan dikembalikan pada teks atau subject matter yang sedang diinterpretasikan (Wollf, 1991: 187-188).

Bagaimana menjelaskan praanggapan (prejudice) sebagai orientasi awal tentang pengkajian teks? Pengertian tentang praanggapan sebaiknya dipahami sebagai historical understanding dan cultural understanding (Wollf, 1991: 188). Praanggapan itu diperoleh peneliti dari pemahaman sejarah dan pemahaman budayanya sendiri. Peneliti sebagai seorang manusia memiliki akal budi, yakni kemampuan untuk mengaitkan makna-makna itu ke dalam rangkaian-rangkaian yang koheren dan terpadu. Pemahaman tentang sejarah hidup dan pemahaman tentang kebudayaannya sendiri menyebabkan ia mampu memahami sejarah dan kebudayaan orang lain. Inilah jawaban terhadap pertanyaan, “Bagaimana mungkin manusia sebagai makhluk historis dapat meninggalkan konteks historisnya guna memahami teks yang berasal dari kurun sejarah yang berbeda?”

Berdasarkan alasan bahwa manusia itu memiliki akal budi atau kemampuan untuk mengaitkan makna-makna ke dalam rangkaian-rangkaian yang koheren dan terpadu, metode verstehen dalam ilmu sosial dapat diterima sebagai metode penelitian ilmiah. Verstehen adalah metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subjektif tindakan sosial. Verstehen tidak sama dengan introspeksi. Introspeksi bisa memberikan seseorang pemahaman akan motifnya sendiri atau makna-makna subjektif dalam tindakan-tindakan orang lain. Sebaliknya, yang dituntut di sini adalah "empati" atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya akan dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Verstehen adalah kemampuan peneliti untuk masuk ke dalam hidup mental orang lain atas dasar tanda-tanda yang diberikan oleh mereka kepada peneliti. Tanda-tanda itu bisa langsung seperti isyarat atau perkataan, dan bisa tidak langsung seperti tulisan, monumen-monumen atau secara umum, semua hasil kebudayaan yang diwariskan manusia (Johnson, 1994: 216; Triatmoko, 1993: 63-64).

Interpretasi menurut Gadamer selalu merupakan interpretasi sirkuler. Manusia hanya dapat memahami (masa lalu, teks, orang lain) dari pusat pandangan manusia itu dan dari sejarahnya sendiri. Interpretasi selalu bersifat perspektival karena interpretasi selalu dibatasi oleh horison atau cakrawala peneliti yang hidup pada saat sekarang. Interpretasi tidak akan pernah sampai pada interpretasi yang menyeluruh karena perhatian peneliti hanya diarahkan pada elemen-elemen yang berkaitan dengan interes-interes kontemporer si peneliti. Hasil maksimal dari interpretasi adalah fusion of horizons atau bertemunya cakrawala masa lalu ketika teks diciptakan dan masa kini saat teks ditafsirkan (Wollf, 1991: 189).

Bahasa merupakan jembatan antara pengalaman hermeneutik dan interpretasi. Bahasa juga merupakan jaminan pemahaman17. Hal ini terjadi karena manusia dalam merumuskan makna dan mengaitkan makna yang satu dengan makna yang lain ke dalam rangkaian-rangkaian yang koheren dan terpadu, melalui proses berbahasa. Pemahaman manusia tentang dunia ini terjadi melalui bahasa dan konsep atau rangkaian-rangkaian makna yang koheren dan terpadu (Wollf, 1991: 188-189).

Berdasarkan kerangka teoretis hermeneutik Gadamer, maka dapat ditetapkan kerangka penafsiran teks sastra Islam Melayu sebagai berikut, pertama, dilakukan transliterasi teks sastra Islam Melayu dari huruf Arab ke dalam huruf Latin dan alih bahasa dari teks berbahasa Melayu ke dalam teks berbahasa Indonesia. Alih bahasa teks ini penting karena bahasa merupakan jembatan pengalaman hermeneutik dan interpretasi. Kedua, upaya untuk membangun praanggapan (prejudice) adalah dengan cara melakukan penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan subject matter penelitian ini. Ketiga, interpretasi dapat terjadi apabila berlangsung fusion of horizons. Upaya untuk mencapai hal itu adalah dengan cara membandingkan pokok-pokok pemikiran dalam teks sastra Islam Melayu dengan karya penulis lain yang membahas pokok-pokok pemikiran sejenis dan mewakili cakrawala pemikiran saat ini. Melalui cara seperti ini, maka akan terjadi pembauran cakrawala pemikiran pada masa ketika teks sastra Islam Melayu diciptakan dan cakrawala pemikiran pada masa teks ini ditafsirkan sehingga dapat dirumuskan suatu relevansi kandungan nilai-nilai budaya dalam teks sastra tersebut dengan tata kehidupan sosial masyarakat dewasa ini.

4. Penutup

Perlu dicatat bahwa salah satu tugas hermeneutik adalah mencari dalam teks kemampuan karya untuk memproyeksikan diri keluar dari dirinya dan melahirkan suatu dunia yang merupakan pesan teks itu. Dari sisi inilah, para peneliti atau penafsir teks sastra Islam Melayu seharusnya tertantang untuk menemukan pesan-pesan atau nilai budaya transformatif yang dapat berperan sebagai the social construction of reality. Hal ini adalah dimensi praksis dalam teks yang akan mengubah dunia luar.

Catatan :

1 Edwar Djamaris (1984: 102) menggunakan terminologi “sastra Indonesia lama pengaruh Islam” untuk menyebut hal ini.

2 Ilmu kalam adalah teologi Islam. Ilmu kalam membahas Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan, seperti sifat dan perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, iman dan lain-lainnya (Nasution, 1996: 368). Ilmu fikih atau fiqh adalah ilmu yang membahas hukum Islam, mempelajari ajaran-ajaran pokok Islam yang harus dijadikan landasan utama dari seluruh sistem hukum Islam serta dituangkan dalam peraturan-peraturan fungsional dan operasional yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia (Rais, 1996: 44; Nasution, 1996: 348, 403). Ilmu tasawuf secara umum membahas berbagai cara manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Dasar filsafat tasawuf adalah adanya anggapan bahwa Tuhan bersifat Mahasuci dan immateriil. Hanya aspek immateriil dari manusia, yaitu ruh yang dapat mendekat kepada Tuhan dengan syarat ruh itu harus suci. Cara manusia mensucikan ruhnya adalah dengan memperbanyak ibadah kepada Tuhan, seperti: shalat, puasa, haji, membaca Alquran, mengingat Tuhan dengan berdzikir, dan berbuat amal kebaikan kepada sesama makhluk hidup (Nasution, 1996: 359-361).

3 Panuti Sudjiman (1995: 10) mengatakan: “Kenyataan menunjukkan bahwa sangat jarang ada naskah asli/induk yang sampai ke tangan kita; akses kita hanya sampai pada salinan (salinan dari salinannya). Hal ini dapat dipahami mengingat alas tulis naskah Melayu adalah kertas yang lekang oleh panas, lapuk oleh hujan, dan binasa oleh serangga.”

4 Salah satu kajian dari fungsi sosial karya sastra adalah mempertanyakan sampai seberapa jauh sastra berfungsi sebagai pembaharu dan perombak tatanan nilai-nilai sosial pada suatu masyarakat (Damono, 1984: 4).

5 Pengertian lebih luas tentang bahasa Melayu sebagai lingua franca, lihat Ignas Kleden, 1998.

6 Weber (1971: 19) menyebut etika agama Konfusius, Hindu, Budha, Kristen, dan Islam termasuk dalam kategori agama dunia.

7 Keterangan lebih banyak mengenai peranan kaum pedagang dalam proses penyebaran agama Islam di Asia Tenggara, lihat de Graf (1989: 2 —3).

8 Konsep tentang indigenization agama, lihat Abdullah dan Sidique, 1988: 4—5.

9 Teks berbeda dengan naskah, teks mengacu ke kandungan naskah yang bersifat abstrak sedangkan naskah sesuatu yang konkret, yang dapat dijamah dan diamati. Teks tersimpan di dalam naskah (Sudjiman, 1995: 11).

10 Mulyadi (1994: 11—12) menjelaskan naskah Melayu adalah naskah yang kandungan atau teksnya ditulis dalam bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Arab-Melayu sedangkan pengertian mengenai naskah kuno menurut Sudjiman (1995) adalah naskah lama yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu.

11 Isi naskah selalu dipengaruhi oleh keadaan jaman, setiap penulis sama sekali tidak dapat terlepas dari pengaruh masyarakat secara keseluruhan (Soebadio, 1991: 1—5).

12 Alam pikiran masyarakat sering disebut sebagai wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, ada dalam benak pikiran manusia warga masyarakat tempat kebudayaan yang bersangkutan itu hidup (Koentjaraningrat, 1980: 201).

13 Menurut Sapardi Djoko Damono (1984: 9), sastra merupakan cermin dari zamannya. Sastra merupakan refleksi dari berbagai nilai-nilai budaya yang dihayati kebenarannya oleh masyarakat pada zamannya.

14 Kata hermeneutik berasal dari Hermes, nama utusan Dewa dalam mitologi Yunani. Ia adalah pembawa pesan para Dewa kepada manusia. Hermes berperan sebagai interpreter pesan para Dewa dan merumuskan pesan itu supaya dapat dipahami oleh manusia (Addison, 1992: 110).

15 Karya sastra dapat disebut sebagai struktur otonom, lepas dari diri dan niat penulisnya. Pengkajian karya sastra sebagai struktur yang otonom biasanya dilakukan dalam pendekatan obyektif untuk menerangkan dan menilai karya sastra. Pendekatan obyektif atau pendekatan instrinsik adalah pendekatan yang berusaha menafsirkan dan menganalisis karya sastra dengan teknik dan metode yang diarahkan kepada dan berasal dari karya sastra itu sendiri (Baried; Sutrisno; Soeratno; Sawu; dan Istanti, 1994: 20).

16 Wollf (1991: 189) mengatakan bahwa interpretasi selalu merupakan reinterpretasi yang merupakan mediasi masa lalu dan masa kini, atau hal ini tercapai karena fusion of horizons atau bertemunya cakrawala masa lalu dengan masa kini. Pendapat Wollf ini jelas bertentangan dengan pendirian Haryati Soebadio (1990: 7) yang mengatakan bahwa: “Naskah lama tidak mungkin juga dihadapi dengan pikiran atau perasaan masa kini beserta sekalian kepekaan yang berasal dari budaya masa kini.”

17 Wollf (1991: 189), mengatakan bahwa: “…the medium of hermeneutic experience and of interpretation is language, and language is at the same time the guarantee of our understanding.”

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique. 1988. "Kata Pengantar", dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (Editor), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, halaman: 1—6.

Addison, Richard B. 1992. "Grounded Hermeneutic Research", dalam Benjamin F. Crabtree, dan William L. Miller (ed.) Doing Qualitative Research. Newbury Park, Sage Publications. London; New Delhi: Sage Publications, halaman: 110—124.

Baried, Siti Baroroh; Sulastin Sutrisno; Siti Chamamah-Soeratno; Sawu; Kun Zachrun Istanti. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Peneliti dan Publikasi Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra. Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Djamaris, Edwar. 1984. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik (Sastra Indonesia Lama). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesustraan Melayu Klasik I. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Geertz, Clifford. 1995. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

de Graaf, H.J. 1989. "Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18", dalam Azyumardi Azra (Penyunting), Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kleden, Ignas. 1998. "Dari `Lingua Franca` ke Politik Bahasa", Kompas, 22 Oktober.

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. "Kodikologi Melayu di Indonesia", Lembar Sastra, No. 24/Des. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Penerbit Mizan.

Rais, Amien. 1996. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Penerbit Mizan.

Soebadio, Haryati. 1990. “Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai Bidang Ilmu”, dalam Lembaran Sastra, No. 12/I . Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, halaman: 1—17.

Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Kumpulan Karangan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Triatmoko, Bambang. 1993. "Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur", dalam Tim Redaksi Driyarkara, Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, halaman: 61—76.

Weber, M. 1971. "Major Features of World Religions", dalam Roland Robertson (Editor), Sociology of Religion. Middlesex: Penguin Books, halaman: 19—41.

Wolff, Janet. 1991. "Hermeneutic and Sociology", dalam Henry Etzkowitz dan Ronald M. Glassman (Editors), The Renaissance of Sociological Theory. Itaca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc, halaman: 187—200.
disalin dari : www.adicita.com
Bambang Hendarta Suta Purwana, Doktorandus, Magister Sain, adalah staf peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.

Jumat, 18 Februari 2011

Memberi


Jika kita tau siapa diri kita,darimana berasal,untuk apa hidup didunia, setelah itu mau kemana lagi melangkah/ melanjutkan hidup, rasanya jika tiap diri ini sadar akan semua hal itu tak akan banyak kita temui keluh kesah dalam menjalani kehidupan ini.
Kehidupan ini sendiri adalah pemberian dari Sang Maha Pemberi. Saat kita dilahirkan ke dunia ini, kita pun mendapat pemberian kasih sayang dari orang tua. Bayangkan jika kita lahir tanpa ada orang yang memberi kasih sayang itu, niscaya kita tak kan ada sampai saat ini. Semua hal yang kita manfaatkan dalam hidup ini adalah pemberian (taken for granted). Apa yang diberikan itu tanpa pamrih. Tanpa mengharap balasan.
Saat ini kita telah dewasa, atau lebih dari kata dewasa itu sendiri. Sudah saatnya untuk tidak hanya menerima, tapi memberi. Memberi apa yang kita punya dan kita sanggup untuk memberikannya. Tidak perlu muluk-muluk, hal-hal yang sederhana saja. Memberikan senyuman ke orang yang berpapasan dengan kita, memberikan kasih sayang dan perhatian ke orang tua kita. Membuatkan minuman mungkin, memberikan salam saat pergi ataupun pulang, atau juga memberikan ciuman di tangan beliau.
Adanya kehidupan kita saat ini tidaklah secara tiba-tiba, dan tidaklah dengan sendirinya tanpa ada tanpa campur tangan orang lain. Orang-orang disekeliling kita sangat berperan akan keberadaan kita. Tapi mengapa banyak yang tidak menyadarinya? Oleh karenanya, saatnya untuk memberi.
Banyak hal yang ingin kita capai,seperti pekerjaan,cita-cita,jodoh kita dan lain sebagainya,sebelum kita dapatkan harus ada perjuangan, yakni tenaga ,pikiran dan waktu. Ada pepatah berilah, maka kau akan menerima lebih. Hal ini bukan berarti apa yang dilakukan adalah berpamrih, mengharapkan imbalan. Memberi merupakan tolak ukur kesadaran dan keikhlasan. Jika memberi dengan diiringi keinginan untuk suatu balasan, dan penerima pun mengabulkannya, maka itu bukanlah pemberian yang utuh. Namun sebuah  negosiasi. Negosiasi berkutat antara untung dan rugi. Bukan lagi mendasarkan pada hati nurani.
Setiap pemberian pasti ada balasannya, akan dilipat gandakan. Jika anda tidak percaya, cobalah dan lakukanlah. Lihat dan hitunglah dengan objektif. Balasan itu tidak hanya berupa nominal angka mata uang, tidak juga barang, namun juga bisa berupa hadirnya kesempatan, terjaganya kesehatan, bertambahnya ilmu pengetahuan dan masih banyak lagi manfaat yang didapatkan. Belum lagi bertambahnya pahala.
Jika tiap orang sadar dan faham arti memberi ini,mungkin tidak akan kita temukan istilah pelit, sengsara atau miskin. tiap orang yang sadar hidupnya adalah pemberian akan memberikan lagi kepada orang lain baik itu moril atau materil. Kembali kepadanya dalam bentuk lain, sehingga seperti sebuah siklus.

Kamis, 17 Februari 2011

Berfikir

Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suria sumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian. “Berpikir” mencakup banyak aktivitas mental. Kita berpikir saat memutuskan barang apa yang akan kita beli di toko. Kita berpikir saat melamun sambil menunggu kuliah pengantar psikologi dimulai. Kita berpikir saat mencoba memecahkan ujian yang diberikan di kelas. Kita berpikir saat menulis artikel, menulis makalah, menulis surat, membaca buku, membaca koran, merencanakan liburan, atau mengkhawatirkan suatu persahabatan yang terganggu.
Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar kerja organ tubuh yang disebut otak.  Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada obyek tertentu, menyadari secara aktif dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai wawasan tentang obyek tersebut.
Berpikir juga berarti berjerih-payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam berpikir juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada, menimbang, dan memutuskan.

Rabu, 16 Februari 2011

Apa kabar Rokok

leh: Abdul Kholiq, Lc*

FOTO: elsabarto.wordpress.com
Apa pendapat Anda jika ada ulama menfatwakan halal susu bermelamin atau biskuit beracun, selama tak terasa sakit? Tentu, sontak semua orang akan mengecam.
Kasus sepadan dengan itu sebenarnya sedang terjadi. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana menyampaikan fatwa tentang rokok, segenap tokoh menentang rencana itu. Bahkan para petani tembakau di Jember, Jawa Timur berdemonstrasi menentang rencana fatwa MUI tersebut.
Sepanjang penelusuran penulis, ada tiga pendapat menyangkut hukum rokok. Pertama, haram; kedua, makruh; dan ketiga, mubah. (Baca di al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah : I/3522)
Kelompok yang membolehkan (mubah), mereka mendasarkan pada kaidah fikih bahwa asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada bukti yang mengharamkannya. Penyebab haram barang konsumsi ada dua hal, yaitu memabukkan dan membahayakan kesehatan. Sayyid Sabiq menambahkan tiga hal lagi yaitu najis, terkena najis dan masih berstatus milik orang lain. (Fiqh al-Sunah: III/267).
Menurut mereka semua hal itu tak terbukti pada rokok, sehingga hukumnya tetap halal. Andaipun ada yang terkena dampak negatif, maka yang demikian bersifat relatif. Jangankan rokok, madu pun yang secara nash dikatakan mengobati, dapat pula berdampak negatif kepada sebagian orang. Pendapat ini didukung beberapa ulama lintas madzhab, di antaranya Abd al-Ghani al-Nabulisi al-Hanafi (1062 H) yang terkenal dengan karangannya “al-Shulh Bain al-Ikhwan Fi Ibahat Syurb al-Dukhan”.
Yang juga termasuk mendukung pendapat ini adalah al-Syaikh Ali Ibn Muhamad Ibn Abd al-Rahman al-Ajhuri (1066 H) dari madzhab Maliki (Ghayat al-Bayan li Hilli Syurb Ma La Yughayyib al-’Aql Min al-Dukhan). Begitu pula Ibn ‘Abidin (1252 H) dan al-Hamawi
Sedangkan dari madzhab Syafi’i ada al-Hifni, al-Halabi dan al-Syubramilisi. Ditambah lagi dari kalangan ulama Hanbali yaitu al-Syaukani dan al-Karami.
Kelompok yang memakruhkan adalah Ibn ‘Abidin (yunior) al-Hanafi yang wafat pada tahun 1306 H, Yusuf al-Shaftiy al-Maliki (abad XII), al-Syarwani al-Syafi’i dan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H).
Dasar pendapat mereka adalah; Pertama, yang jelas asap rokok itu menimbulkan bau tak sedap. Kedua, dalil ulama yang mengharamkan itu belum valid, alias belum dapat dipercaya secara penuh, hingga hanya sebatas menimbulkan keraguan (syakk).
Ulama yang berpendapat haram antara lain: Zakariya al-Anshari al-Syafi’i, Abu al-Ikhlash Hasan Ibn ‘Ammar al-Syaranbilali al-Hanafi (1069 H), Salim al-Sanhuri al-Maliki, Najm al-Din al-Ghazi al-Syafi’i, Ahmad Ibn Ahmad Ibn Salamah al-Qalyubi al-Syafi’i (1070 H) dan Shalih Ibn al-Hasan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H).
Ulama Sejati
Semua ulama sepakat dan tak satu pun menolak bahwa keharaman barang konsumsi tergantung kepada keberadaan salah satu atau lebih dari lima faktor. Yaitu memabukkan (muskir), membahayakan kesehatan (mudhirr), najis, terkena najis (mutanajjis) dan masih berstatus milik orang lain (milk al-ghair).
Bila dikaji dengan seksama tentang alasan kedua pendapat pertama di atas –baik yang membolehkan dan memakruhkan– dapat dikatakan wajar bila keduanya menolak atau kurang percaya terhadap validitas argumen pendapat ketiga. Hal itu dapat dipahami, sebab kendala utamanya terletak pada metode pembuktian dampak tersebut. Maklum, saat itu belum ada standar penelitian ilmiah yang disepakati, apalagi yang bersifat medis. Akhirnya, argumentasi bahwa rokok mengandung madharat dapat dengan mudah ditepis oleh orang yang tidak mempercayai, baik berdasar pengalamn pribadi maupun orang lain yang tidak tampak terkena dampak negatif rokok.
Untuk mengurai masalah ini, hendaknya dikembalikan kepada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Sebagaimana diketahui, Allah SWT memerintahkan kita untuk bertanya setiap hal kepada orang yang berkompeten (Al-Nahl [16]: 43).
Dalam masalah rokok, ada dua masalah yang memerlukan dua ahli yang berbeda. Pertama, terkait dengan materi dan zat yang terkandung di dalamnya serta dampaknya terhadap kesehatan manusia. Untuk yang ini, adalah wilayah ahli kesehatan, dokter dan paramedis. Kedua, terkait hukum syar’i dan ini bidangnya ahli fikih. Nah, hukum rokok tergantung pada hasil studi para ahli kesehatan tersebut.
Di era milenium ketiga ini, menunjukkan hasil penelitian dan efek buruk rokok jauh lebih mudah dan tak terbilang jumlahnya. Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prof. F. A. Moeloek menjelaskan, pada 2005 ada 70.000 artikel ilmiah di dunia yang menegaskan tentang bahaya rokok, baik dari segi kandungan materialnya maupun dampak riil yang telah terjadi akibat rokok. ( http://www.depkes.go.id. 3 Juni 2008).
Jika ribuan karya peneliti itu tetap ditolak demi melestarikan perbedaan pendapat kuno tersebut, berarti tak ubahnya bersikap lebih percaya pada kejahilan diri sendiri dari pada pengetahuan orang lain.
Ulama sejati, harusnya bergembira menyambut hasil temuan seperti itu. Setidaknya, itu menjadikan bukti dan dapat menguak misteri bahaya rokok yang diperdebatkan ahli fikih sejak lima abad lampau. Dengan demikian, penerapan dalil “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (Al-Baqarah [2]: 195) dapat dengan mantap diterapkan.
Kaidah fikih “La Dharara Wala Dhirara” (tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain)” tak terbantahkan lagi masuk dalam hukum rokok ini, sehingga hasilnya adalah haram.
Antara Hukum dan Ekonomi
Adapula ulama yang kurang setuju pemfatwaan haram dalam kasus rokok karena alasan ekonomi. Jika rokok dilarang, kata mereka, jutaan petani tembakau akan merugi.
Lantas apa hubungannya antara ekonomi dengan fatwa haram? Apakah karena pertimbangan sosial-ekonomis hukum harus diubah? Lagi pula, kapan umat mengetahui hukum yang sebenarnya (termasuk kasus rokok) hingga mereka meninggalkannya atas dorongan iman, bukan karena paksaan undang-undang? Padahal halal atau haram adalah urusan agama.
Pertama, hukum adalah hukum dan tetap dapat disosialisasikan. Masalah meninggalkan –utamanya bagi pekerja & pemilik pabrik—itu bisa berproses, sesuai dengan tingkat kedaruratan dan keimanan masing-masing. Pentahapan pemberitahuan hukum pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) –untuk khamr misalnya– tidak dapat disamakan dengan kasus rokok saat ini. Di mana ketika itu pemberitahuan secara langsung akan keharaman khamr kepada masyarakat yang mayoritas suka khamr, akan berhadapan dengan ancaman yang lebih besar, berupa meninggalkan agama dan akidah baru mereka yaitu Islam.
Kedua, hukum mengenai keharaman barang konsumsi adalah mutlak tergantung ada atau tidaknya salah satu atau lebih dari lima faktor pengharam di atas. Tak ada sangkut pautnya dengan fenomena sosial. Bila tidak, benarlah bila dikatakan banyak orang: “Walaupun rokok itu beracun menurut ahli kesehatan sedunia, tapi jangan dulu dihukumi haram! ”
Penulis berharap ada kebeningan hati dan obyektivitas dari para ulama dalam menilai kebenaran. Serta keberanian untuk menyampaikannya. Dengan demikian umat dapat terbimbing memahami sekaligus melaksankan agamanya dengan baik. Selamat tinggal rokok, marhaban ya waratsat al-anbiya’! SUARA HIDAYATULLAH 2008 *Dosen STAIL Hidayatullah Surabaya, sekarang sedang menempuh S2 di IAIN Sunan Ampel Surabaya

Hikmah Tawadhu

Oleh Prof Nanat Fatah Natsir***

Alkisah, Jablah bin Aiham, raja dari Kerajaan Gassanah melakukan perjalanan ke Madinah. Menurut para sejarawan, ia datang bersama rombongan ke kota suci kedua bagi umat Islam itu untuk masuk Islam. Begitu sampai di Madinah, rombongan itu diterima dengan penuh suka cita oleh Khalifah Umar bin Khathab.

Saat musim haji tiba, Jablah menunaikan haji bersama Umar. Saat ber-tawaf, sarung raja Gassanah itu terinjak hingga terlepas. Jablah pun murka dan memukul lelaki yang menginjak sarungnya hingga berdarah. Pria yang berasal dari suku Fuzarah itu mengadu kepada Umar.

"Mengapa kamu memukul lelaki ini?" tanya Umar. "Dia telah menginjak sarungku hingga terlepas," jawab Jablah. Umar berkata, "Bukankah kamu telah menyatakan masuk Islam? Sebagai balasannya, kamu harus berusaha membuatnya rela atau dia melakukan tindakan seperti tindakan yang telah kamu lakukan terhadapnya."

Dengan penuh kesombongan, Jablah berkat, "Apakah hal ini pantas aku lakukan! Aku adalah raja, sedangkan dia adalah rakyat jelata." Umar dengan tegas berseru, "Islam memandang sama antara dirimu (raja) dan dirinya (rakyat jelata). Tidak ada hal yang membuatmu memiliki derajat lebih tinggi daripada dia, selain amal kebaikan."

"Demi Allah, aku masuk Islam dan berharap dapat menjadi lebih mulia daripada masa jahiliah."

Umar berkata, "Kamu akan seperti itu." Jablah berkata, "Tangguhkanlah aku sampai besok agar aku dapat berpikir tentang hal ini, wahai Amirul Mukminin." Umar berkata, "Silakan."

Namun pada malam hari, Jablah dan rombongannya malah melarikan diri hingga sampai di Konstantinopel dan bertemu dengan Heraklius. Ia tak mau bersikap tawadhu dan memilih keluar dari ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat.

Kisah yang tercantum dalam Sirah Umar bin al-Khaththab karya Ahmad at-Taji itu mengandung pesan bahwa Islam mengajarkan sikap tawadhu seperti dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Tawadhu adalah sikap tunduk kepada Allah dan rendah hati serta sayang terhadap hamba-Nya. Insan yang tawadhu adalah hamba-hamba Allah yang yang berjalan di bumi dengan rendah hati.
(QS Al-Furqan [25]:63).

Orang yang tawadhu adalah mereka yang tak pernah sombong dan bersikap angkuh serta tak pernah menyombongkan diri. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh.

Sungguh Allah tak menyukai orangorang yang sombong dan membanggakan diri." (QS asy-Syu'ara [31]:18). Sesunguhnya, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. (QS Al-Hujurat [49]:13).

Mudah-mudahan bangsa ini dapat mengembangkan budaya tawadhu, antara pejabat dan rakyat, rakyat dengan rakyat, sehingga tumbuh menjadi bangsa kuat yang ditopang oleh budaya kebersamaan dan saling menghormati.
Red: Siwi Tri Puji B

Dosa Primordial

Selasa, 01 Februari 2011, 15:46 WIB
Smaller  Reset  Larger
NYT
Dosa Primordial
Seorang Muslim sedang berdoa di Masjid Volklingen
Oleh A Ilyas Ismail

Pada suatu hari, Rasulullah SAW ditanya tentang kebajikan dan keburukan (dosa). Jawabnya, "Kebajikan (al-birr) adalah budi pakerti luhur (husn al-huluq), sedangkan keburukan atau dosa (al-itsm) adalah apa yang membuat hatimu resah, dan kamu tidak ingin orang lain mengetahuinya." (HR. Muslim dari Ibn Sam`an al-Anshari).

Hakikat dosa, kata pakar hadis al-Munawi, adalah sesuatu yang membuat jiwa tak tenang dan hati tak tenteram. Hal ini, karena menurut fitrahnya, manusia lebih condong kepada kebenaran. Hati ibarat cahaya yang bersih dan  terang. Oleh sebab itu, bila orang melakukan kebaikan, maka akan timbul sinergi dan harmoni (antara dua cahaya), yang selanjutnya  mendatangkan kedamaian. Sebaliknya, demikian al-Munawi, jika orang melakukan kejahatan (dosa), maka cahaya hati bakal meredup dan tak terjadi sinergi, sehingga timbul kegelisahan. (Faydh al-Qadir :3/825).  

Dosa umumnya diklasifikasi ke dalam dua kategori, yaitu dosa-dosa besar (al-kaba'ir) dan dosa-dosa kecil (al-shagha`ir). Para ulama, seperti dikutip al-Ghazali dalam Ihya' `Ulum al-Din,  berselisih paham soal terma besar dan kecil itu. Ada pendapat, setiap tindakan melawan hukum Allah adalah dosa besar. Ada pula yang berpendapat, dosa dipandang besar apabila diancam dengan api neraka, diancam dengan pidana, serta disebut larangannya secara eksplisit dalam Alquran. 

Diakui, dalam Alquran memang disebutkan dosa-dosa besar (QS an-Nisa'[40]: 31 dan asy-Syura[42]:37); begitu pula dalam hadis. Dalam satu hadis, dosa-dosa besar itu disebut ada empat, yaitu syirik, durhaka kepada ibu-bapak, membunuh, dan sumpah palsu (pembohongan publik). Dalam riwayat lain, disebeutkan ada tujuh, yaitu empat di atas, ditambah sihir, riba, makan harta anak yatim, disersi, dan tuduhan zina kepada wanita mulia (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Di luar semua itu, ada tiga dosa yang dianggap sebagai biang dan pangkal kejahatan. Pertama, dosa sombong dan membanggakan diri (al-kibr), dosa yang dahulu dilakukan oleh Iblis (QS al-Baqarah [2]: 34). Kedua, dosa serakah dan loba, dosa yang dahulu pernah dibuat oleh Nabi Adam AS dan istrinya, Hawa (QS al-Baqarah [2]: 36). Ketiga, dosa dengki dan iri hati, dosa yang dahulu pernah dilakukan oleh Qabil. Karena iri hati, Qabil tega menghabisi nyawa adik kandungnya sendiri. (QS al-Ma'idah [5]: 27).

Ketiga dosa ini, karena sifatnya yang besar dan berpotensi mendorong lahirnya dosa-dosa lain, serta pernah terjadi dan dilakukan oleh manusia pada masa yang paling awal, maka tak berlebihan bila ketiga dosa tersebut dinamai "Dosa Primordial".  Wallahu a`lam!
Red: Siwi Tri Puji B
KOTA PETRA SEMPAT HILANG DARI PERADABAN MANUSIA SELAMA 500 TAHUN, TEPATNYA SEJAK BERAKHIR PERANG SALIB PADA ABAD KE-12 M.

Petra, Misteri Kota Berdinding BatuBerjarak sekitar 3-5 jam perjalanan dari Kota Amman, Yordania, terdapat sebuah situs bersejarah. Bahkan, pada 2007 situs tersebut menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia. Peninggalan bersejarah yang begitu indah dan menakjubkan itu bernama Kota Petra.

Petra dalam bahasa Yunani berarti batu. Sedangkan, orang Arab menyebutnya alBitra. Situs arkeologi itu terletak di sebuah dataran rendah yang diapit oleh gununggunung yang membentuk sayap. Sejarah Kota Petra pun tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Hadis tersebut memang tak menjelaskan secara langsung Kota Petra. Namun, yang disebut adalah bangsa Arab kuno bernama Anbath Asy-Syam. Menurut kitab Al-Qamus al-Islami, Kota Petra yang indah dan menakjubkan merupakan peninggalan Anbath AsySyam--yakni bangsa Arab kuno yang tinggal di antara Semenanjung Sinai dan Harun.

Kota itu sempat menjadi pusat perdagangan para kafilah yang melakukan perjalanan antara Mesir, Jazirah Arab, dan Syam. Pada awal kemunculan Islam, menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith al-Nabawi, ada beberapa peninggalan bangsa Anbath yang telah bercampur dengan bangsa lain.

"Konon, peradaban bangsa Anbath memiliki jenis tulisan (kaligrafi) yang dinamakan Khath Nabthi," ujar Dr Syauqi. Kota Petra sempat hilang dari peradaban manusia selama 500 tahun, tepatnya sejak berakhir nya Perang Salib pada abad ke-12 M.

Kota yang hilang itu baru diketahui peradaban Barat pada 1812. Adalah petualang berkebangsaan Swiss bernama Johann Ludwig Burckhardt yang kembali memperkenalkan kota itu. Yang mengetahui keberadaan kota itu adalah suku Badui yang tinggal di sekitar wilayah itu.

Keindahan dan kemegahan Kota Petra dilukiskan oleh BBC dalam seuntai kalimat, "Ini adalah satu dari 40 tempat yang harus Anda lihat sebelum mati." Betapa tidak, Petra merupakan kota yang unik. Kota itu dibangun dengan cara memahat dindingdinding batu.

Kota Petra merupakan simbol teknik dan perlindungan. Kota tersebut didirikan dengan menggali dan mengukir cadas setinggi 40 meter. Tak heran, jika kota itu sulit untuk ditembus musuh. Petra pun dikenal sebagai kota yang aman dari bencana alam seperti badai pasir.

Kota itu dikelilingi gunung-gunung. Salah satunya ada yang memiliki ketinggian sekitar 1.350 meter di atas permukaan laut.
Gunung tertinggi itu disebut Gunung Harun (Jabal Harun) atau Gunung Hor atau El-Barra.

Banyak yang meyakini di puncak Jabal Harun itulah Nabi Harun meninggal dan dimakamkan oleh Nabi Musa. Rasulullah SAW pun diduga pernah mengunjungi gunung itu bersama pamannya Abu Thalib saat berdagang ke Syam (Suriah).

Tradisi Arab meyakini Petra merupakan tempat Nabi Musa (Musa) memukul batu dengan tongkatnya hingga keluarlah air dari batu tersebut. Di kota itu juga terdapat nama tempat Wadi Musa untuk menyebut lembah sempit di wilayah itu.

Pada abad ke-14 Masehi, sebuah masjid dibangun di tempat itu dengan kubah berwarna putih yang terlihat dari berbagai area di sekitar Petra. Konon, Nabi Harun tiba di wilayah itu ketika mendampingi Nabi Musa membawa umatnya keluar dari Mesir dari kejaran Raja Firaun.

Petra didirikan enam tahun sebelum Masehi. Ia merupakan ibu kota kerajaan Nabatean. Adalah Raja Aretas IV yang membangun kota unik dan ajaib itu. Suku Nabatean membangun Kota Petra dengan sistem pengairan yang luar biasa rumit.
Peradaban itu memiliki teknologi hidrolik untuk mengangkat air.

Untuk menghidupi penduduknya, di kota itu terdapat terowongan dan bilik air untuk menyalurkan air bersih ke kota. Selain itu, mereka juga sangat mahir dalam membuat tangki air bawah tanah untuk mengumpulkan air bersih yang bisa digunakan saat mereka bepergian jauh. Sehingga, di mana pun mereka berada, mereka bisa membuat galian untuk saluran air guna memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih.

Di akhir abad ke-4 SM, berkembangnya dunia perdagangan membuat suku Nabatean turut berkecimpung dalam perdagangan dunia. Rute perdagangan dunia mulai tumbuh subur di bagian selatan Yordania dan selatan Laut Mati. Mereka lalu memanfaatkan posisi tempat tinggal mereka yang strategis itu sebagai salah satu rute perdagangan dunia.

Suku Nabatean akhirnya bisa menjadi para saudagar yang sukses dengan berdagang dupa, rempah-rempah, dan gading yang antara lain berasal dari Arab bagian selatan dan India bagian timur. Letaknya yang strategis untuk mengembangkan usaha dan hidup, serta aman untuk melindungi diri dari orang asing, membuat suku Nabatean memutuskan bermukim di kota batu itu.

Untuk mempertahankan kemakmuran yang telah diraih, mereka memungut bea cukai dan pajak kepada para pedagang setempat atau dari luar yang masuk ke sana. Suku Nabatean akhirnya berhasil membuat kota internasional yang unik dan tak biasa.

Seiring waktu, Kota Petra pun dihuni puluhan ribu warga hingga akhirnya berkembang menjadi kota perdagangan karena terletak di jalur distribusi barang antara Eropa dan Timur Tengah. Pada 106 Masehi, Romawi mencaplok Petra sehingga peran jalur perdagangannya melemah.

Sekitar 700 M, sistem hidrolik dan beberapa bangunan utama yang menunjang kehidupan masyarakat di kota itu hancur menjadi puing. Petra pun menghilang dari peta bumi saat itu dan hanya tinggal legenda. Hingga akhirnya ditemukan lagi pada abad ke-19 M.
Red: Siwi Tri Puji B
Rep: Heri Ruslan

Republika OnLine » Ensiklopedia Islam » Islam Digest

Download Ebook Hadits

Sumber : http://alqiyamah.wordpress.com/hadits/download-ebook-hadits/

  1. Bulughul Maram.chm
  2. Fathul Bari Jilid 1.pdf
  3. Fathul Bari Jilid 2.pdf
  4. Fathul Bari Jilid 3.pdf
  5. Hadist Web.chm
  6. Hadits-Hadits Dhaif Adabul Mufrad.pdf
  7. Hadits-Hadits Dhaif dalam Riyadhus Shalihin.chm
  8. Riyadhus Shalihin – Imam Nawawi.pdf
  9. Shahih Adabul Mufrad.chm
  10. Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib.pdf
  11. Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid 1.djvu
  12. Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid 2.djvu
  13. Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid 3.djvu
  14. Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 1.djvu
  15. Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 2.djvu
  16. Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 3.djvu
  17. Silsilah Hadist Shahih Buku 1.pdf
  18. Silsilah Hadist Shahih Buku 2.pdf
  19. Syarahul Arba’iina Hadiitsan An-Nawawiyah.chm
  20. Silsilah Hadist Dha’if Dan Maudhu’ Jilid 1.pdf
  21. Silsilah Hadist Dha’if Dan Maudhu’ Jilid 2 .pdf
  22. Silsilah Hadist Dha’if Dan Maudhu’ Jilid 1 s/d 4.chm
  23. Terjemah Syarah Shahih Muslim Juz I.pdf

Rabu, 09 Februari 2011

Beragama yang tidak KORUPSI

Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak “Ndeso”
Oleh: Faisal
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu:  pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?“
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga  harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit,  dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya.  Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, “Ia di neraka.” Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.  Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.
Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.  Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan.  Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.
Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.
Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri.  Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.
Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid’ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid’ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.
Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.
Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.  [ed.AYS]

Ikhlas tempat persinggahan

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah



Pengantar:
Dalam kitab Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menyebutkan tempat-tempat persinggahan Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in diantaranya adalah ikhlas. Berikut ini saya kutipkan beberapa penggal alenia yang tercantum dalam pasal ini. Bagi yang menginginkan uraian lebih lanjut saya persilahkan membaca langsung dari sumbernya. (ALS)


Sehubungan dengan tempat persinggahan ikhlas ini Allah telah berfirman di dalam Al-Qur'an, (artinya):
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus." (Al-Bayyinah: 5)
"Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (Az-Zumar: 2-3)
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya." (Al-Mulk: 2)
Al-Fudhail berkata, "Maksud yang lebih baik amalnya dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar."
Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu ?"
Dia menjawab, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah." Kemudian ia membaca ayat, (artinya): "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110)

Allah juga berfirman, (artinya):
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?" (An-Nisa': 125)
Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.

Allah juga berfirman, (artinya):
"Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan."(Al-Furqan: 23)
Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Sa'ad bin Abi Waqqash, "Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatu amal untuk mencari Wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajad dan ketinggian karenanya."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, (artinya):
"Tiga perkara, yang hati orang mukmin tidak akan berkhianat jika ada padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada para waliyul-amri dan mengikuti jama'ah orang-orang Muslim karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka." (HR. At-Thirmidzi dan Ahmad)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang karena riya', berperang karena keberanian dan berperang karena kesetiaan, manakah diantaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau menjawab, "Orang yang berperang agar kalimat Allah lah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah.
Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu qari' Al-Qur'an, mujahid dan orang yang menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar dikatakan, "Fulan adalah qari', fulan adalah pemberani, Fulan adalah orang yang bershadaqah", yang amal-amal mereka tidak ikhlas karena Allah.

Di dalam hadits qudsi yang shahih disebutkan; "Allah berfirman, 'Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatu amal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menjadi milik yang dia sekutukan, dan Aku terbebas darinya'." (HR. Muslim)
Di dalam hadits lain disebutkan; "Allah berfirman pada hari kiamat, 'Pergilah lalu ambillah pahalamu dari orang yang amalanmu kamu tujukan. Kamu tidak mempunyai pahala di sisi Kami'."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian." (HR. Muslim)

Banyak difinisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun tujuannya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendirikan Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya membersihkan perbuatan dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Sedangkan shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja. Orang yang ikhlas tidak riya' dan orang yang shidq tidak ujub. Ikhlas tidak bisa sempurna kecuali shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar.
Al-Fudhail berkata, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya', Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya."
Al-Junaid berkata, "Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat sehingga dia menulis-nya, tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya."
Yusuf bin Al-Husain berkata. "Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya' dari hatiku, tapi seakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain."

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran." Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan sanjungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun."
Dipetik dari: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, "Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, Edisi Indonesia: Madarijus Salikin Pendakian Menuju Allah." Penerjemah Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, Cet. I, 1998, hal. 175 - 178

Selasa, 08 Februari 2011

Sebab-sebab Perpecahan dan Solusinya

Definisi

Perpecahan atau perselisihan dalam istilah syari’ah adalah ikhtilaf. Ikhtilaf terbagi menjadi dua yakni ikhtilaf tanawwu’ (keberagaman) dan ikhtilaf tadhaadh (kontradiktif). Ikhtilaf tanawwu’ merupakan perbedaan yang terjadi karena keberagaman dalil atau globalnya makna dari satu dalil dari suatu masalah tertentu sehingga memungkinkan untuk ditarik ke berbagai kesimpulan yang berbeda, misalnya tentang do’a iftitah Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam, dimana terdapat beberapa riwayat (dalil) tentang susunan do’a iftitah beliau, juga tentang permasalahan posisi tangan pada saat I’tidal (setelah ruku’) apakah kembali bersedekap atau diturunkan seperti sebelum takbiratul ihram dan banyak lagi permasalahan yang masuk kedalam kategori ikhtilaf tanawwu’ ini. Untuk ikhtilaf jenis ini sikap kita harus tolerans (lapang dada) dalam berselisih tentang masalah tersebut. Ada pula ikhtilaf tadhaadh yakni perselisihan yang sifatnya kontradiktif dimana salah satunya pasti benar dan yang lainnya salah. Misalnya perselisihan antara Islam dengan yahudi, nashrani dan sebagainya, ini sudah pasti salah satunya benar yakni Islam dan selainnya salah. Dan sikap kita dalam perselisihan jenis ini adalah tidak boleh tolerans didalamya dan kita harus mengingkarinya. Adapun Ikhtilaf yang akan kita bicarakan kali ini adalah perpecahan jenis kedua yaitu ikhtilaf tadhaadh.
Cikal Bakal Perpecahan
Perlu kita ketahui bahwa perpecahan merupakan sunnatullah (skenario Allah Ta’ala) sebagaimana perpecahan ini juga terjadi pada ummat-ummat sebelum Nabi Muhammad Shalallahu ‘Aalayhi Wasallam. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al Baqarah 213:
”Dahulunya manusia merupakan ummat yang satu (dalam persatuan). Maka kemudian Allah mengutus kepada mereka Nabi-Nabi yang memberikan kepada mereka berita gembira dan peringatan (dari Allah). Dan diturunkan (pula) bersama para Nabi itu Al Kitab yang membawa kebenaran (firman Allah) supaya mereka jadikan rujukan hukum diantara mereka atas permasalahan yang mereka perselisihkan padanya. Dan tidaklah berselsisih orang-orang yang diberi kitab kecuali setelah datangnya bayyinaat kepada mereka, yaitu karena al baghyi diantara mereka….”. (Q.S.Al Baqarah 213).
Di dalam ayat diatas Allah Ta’ala menceritakan bahwa dulunya ummat manusia berada dalam satu persatuan agama. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan kepada mereka para Nabi yang membawa kitab Allah. Tujuannya ialah agar ummat kala itu mau merujuk kepada Kitab Allah tersebut ketika terjadi perselisihan diantara mereka. Namun meskipun telah datang kepada mereka Nabi dan Kitabullah yang dibawanya dan telah mereka dapatkan penjelasan (bayyinaat) dari keduanya, mereka tetap berselisih dan tidak mau merujuk kepada Nabi dan Kitabullah tersebut sehingga sejak saat itu mulailah mereka berpecah belah. Didalam ayat tersebut Allah Ta’ala juga menerangkan penyebab mengapa mereka tetap berselisih meskipun telah datang kepada mereka bayyinaat, yaitu karena adanya al baghyi diantara mereka. Dalam hal ini Al Imam Al Baghawi menerangkan makna al bagyi dalam ayat ini yaitu dzhulman (kedzaliman) wa hasada (hasad dan dengki).
Demikianlah cikal-bakal perpecahan agama dari ummat manusia ini, dimulai dari orang-orang yang telah diberi bayyinaat atau ilmu tentang agama ini (yang sering kita istilahkan dengan ulama), dimana di dalam hati para ahli ilmu agama ini terdapat kedzhaliman dan kedengkian di antara sesama mereka. Dengan kata lain permasalahannya adalah permasalahan bathin, dimana bathin mereka itu telah dirusakkan dengan sifat dengki diantara sesama mereka sehingga munculah akhlaq dhzahir yang jelek pada mereka yaitu Dzhalim (tidak adil), yang akhirnya mengantarkan mereka kepada malapetaka besar yakni perpecahan dalam agama mereka. Sementara tatkala para pemuka agama tersebut dalam keadaan yang demikian, maka ummat yang mereka pimpin pun otomatis ikut berpecah belah sebagaimana keadaan para pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam menjelaskan ayat diatas Rasulullah Shalallahu `alayhi wasallam bersabda: ”Menimpa kamu suatu penyakit ummat-ummat sebelum kamu, yaitu hasad (dengki) dan benci-membenci. Dialah pencukur (penggundul) agama, bukan sekedar pencukur rambut.(H.R.Tirmidzi)
Disini Rasulullah memeberitakan bahwa sebab perpecahan dan kerusakan agama pada umat ini (ummat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Aalayhi Wasallam ) ialah persis seperti penyakit yang menimpa pada umat-umat sebelumnya yaitu disebabkan oleh al hasad dan al baghdha`, sehingga membinasakan agama mereka. Sehingga dari ayat dan hadits diatas dapat diambil pengertian bahwa ketika umat ini berpecah-belah, berarti sesungguhnya pada ummat ini sedang dihinggapi penyakit pada dzhahir dan bathin mereka. Pada dzhahir mereka yaitu pada akhlaqnya yaitu kedzhaliman, dan penyakit pada bathin mereka yaitu hasad (kedengkian). Dan untuk dapat lepas dari penyakit lahir batin seperti ini tentu dibutuhkan perjuangan dan keikhlashan yang kuat.
Solusi
Ketika kita dihadapkan pada sebuah sunnatullah seperti kondisi perpecahan dan perselisihan yang seperti ini, maka tentunya kita tidak akan dibiarkan oleh Allah Ta`ala begitu saja, sebab pasti Allah Ta`ala akan berikan jalan keluarnya. Dalam hal ini sikap yang paling pertama yang mesti kita lakukan yang dituntunkan kepada kita adalah agar mengambil sikap mencari keselamatan diri sendiri terlebih dahulu dari berbagai fitnah perpecahan tersebut, dan bukan berfikir untuk menyatukan kembali ummat. Sebab yang terpenting dan menjadi prioritas utama dalam hidup ini serta sesuai dengan kemampuan kita saat ini adalah menjaga keselamatan diri pribadi kita dan agama kita agar jangan sampai dirusakkan oleh berbagai penyakit tersebut yang akan menimbulkan malapetaka besar pada agama dan masa depan akhirat kita. Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(Q.S.At Tahrim 6).
Kemudian lebih dalam lagi kita disuruh memahami bahwa berbagai peristiwa perpecahan tersebut disamping disebabkan oleh pribadi orang–orang yang berilmu, juga disebabkan oleh taqdir Allah. Kita disuruh memahami hal tersebut dengan berbaik sangka kepada Allah Ta`ala bahwa Allah Ta`ala-lah yang telah mentaqdirkan segala perpecahan ini tentunya dengan hikmah dan keadilanNya yang Maha Sempurna.. Dalam menerangkan hal ini Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam bersabda::
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan” (H.S.R. Abu daawud & At Tirmidzi)
Hadits diatas menerangkan bahwa perpecahan ini merupakan taqdir Allah. Sehingga mau tidak mau pasti akan terjadi. Dalam hal ini kita dibimbing kepada cara yang benar dalam menyikapi taqdir Allah Ta`ala ini, yakni ketika kita dihadapkan kepada situasi perselisihan dan perpecahan seperti ini, maka yang terpenting adalah dengan cara berfikir untuk menyelamatkan diri masing-masing terlebih dahulu agar bisa selamat dari fitnah perpecahan itu, yaitu dengan cara berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam yang dalam hal ini dengan mempelajari dan meneliti kembali bagaimana sunnah Nabi Muhammad Shalallahu `Alayhi Wasallam (ajaran Nabi Shalallahu `Alayhi Wasallam yakni Islam) dan sunnah para sahabat (cara para sahabat memahami Islam) dalam menyikapi permasalahan yang sedang diperselisihkan itu, sehingga setelah kita mengetahui secara pasti sikap keduanya terhadap permasalahan yang sedang diperselisihkan itu, kitapun dibimbing untuk merujuk dan berpegang teguh kepada keduanya dan meninggalkan pendapat-pendapat yang lain yang menyelisihi keduanya untuk dalam rangka mengambil langkah selamat dari berbagai fitnah perpecahan tersebut.
Lebih tegas lagi Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam menjelaskan :
Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yahudi terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, satu (golongan) masuk Surga dan yang 70 (tujuh puluh) di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang 71 (tujuh puluh satu) golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah men-jadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, yang satu di Surga, dan yang 72 (tujuh puluh dua) golongan di Neraka”. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Al-Jamaa’ah”. Dalam riwayat lain: ”Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya”.(H.S.R.An Nasaa’I & At Tirmidzi)
Dari beberapa ayat dan hadits diatas, ternyata kita dibimbing untuk berfikir realsitis. Ibnu Umar Radhiyallahu `Anhuma berkata:” kita dilarang untuk membeban-bebankan diri dari apa yang kita tidak mampu melaksanakannya.”. Sehingga dalam mengahadapi kenyataan perpecahan ummat ini, hendaknya kita berfikir tentang apa yang kita mampu, dan jangan berfikir tentang apa yang kita tidak mampu melakukannya. Untuk itu kita dituntunkan Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam agar kita tidak buang-buang energi untuk mencoba-coba kemampuan dengan berhayal untuk mampu mempersatukan seluruh kaum muslimin dalam situasi perpecahan ini, namun kita dituntunkan untuk langsung mencari kepastian yang telah dituntunkan Allah dan RasulNya yakni dengan mempelajari sunnah Nabi dan sunnah para khulafaa` rasyidin, dimana dalam hal ini Islam menuntunkan bahwa perpecahan ummat ialah suatu kemestian dan untuk menyikapinya kita dituntunkan menyelamatkan diri kita masing-masing terlebih dahulu dengan mempelajari Islam dngan pemahaman yang benar dari para sahabat Nabi Shalallahu `Alayhi Wasallam.
Namun bukan berarti kita lantas tidak berusaha untuk mengajak ummat kepada pemahaman yang satu (stándar) yakni pemahaman para shahabat nabi (salafus Shalih), akan tetapi yang dimaksudkan disini adalah kita tetap berusaha mengajak ummat kepada satu pemahaman yang standar yakni memahami Al Qur`an dan Assunnah dengan pemahaman generasi terbaik didalam Islam yakni pemahaman para khulafaa` Rasyidin (para shahabat) terhadap Islam, namun dengan tetap meyakini bahwa perpecahan itu merupakan taqdir Allah atas ummat ini sebagaimana juga pada ummat-ummat sebelumnya, kemudian setelah ini kita yakini maka langkah pertama yang kita prioritaskan dalam menyikapi sunnatullah ini adalah dengan menyelamatkan diri terlebih dahulu dari berbagai fitnah perpecahan itu dengan berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah khulafa` rasyidin, baru kemudian setelah itu kita berfikir untuk menyelamatkan orang lain dengan mengajak mereka memegang teguh pemahaman tersebut dengan sebesar kemampuan yang ada pada kita. Sebab seandainya seluruh ummat Islam mau merujuk kepada pemahaman para salafus shalih dalam memahami berbagai perkara agama, niscaya tidak akan terjadi perpecahan dan akan terwujudlah persatuan yang hakiki.
Maka, sampai sejauh mana kekuatan kita berpegang teguh kepada sunnah Nabi Shalallahu `Alayhi Wasallam dan sunnah para khulafaa` rasyidin dalam situasi perpecahan ummat seperti ini, sebesar itulah sesungguhnya kekuatan yang ada pada diri kita dalam menghadapi berbagai situasi perpecahan tersebut. Wallahu A`lam