Mengenai Saya

Foto saya
Hidup ini indah, maka hiasilah kehidupan ini dengan keindahan

Minggu, 01 Mei 2011

Filsafat Paripatetik Ibnu Rusyd

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam Filsafat Paripatetik
disalin dari : //awaited12th.blogspot.com
Sumber: roonamaee.com
Oleh:Ghulam Hossein Ebrahim Dinani
Sejarawan Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.
Buku pemenang pertama festival tahunan buku Iran yang ke 24, tahun ini (1385, 2007), dalam kategori filsafat Islam.
Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H).
Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap buku Ontologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles. Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Syaikh Maqtul Suhrawardi. Abu Ali Sina adalah salah satu filosof lain yang menggabungkan aliran filsafat Paripatetik ini. Dengan kejeniusannya, ia menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafat. Ia juga berhasil mendidik muridnya Bahmaniyar menjadi salah satu pemikir berbakat dalam filsafat Paripatetik.
Masa keemasan filsafat Paripatetik berada di tangan Ibnu Sina. Faktor ini membuat filsafat menjadi faktor penentu budaya dan penentu ilmu-ilmu yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan arif menjadi tertantang. Para arif, yang menganggap argumentasi falsafi bak tongkat kayu yang rapuh, mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum muslimin. Mereka mengatakan bahwa jalan terdekat dan satu-satunya cara untuk mengenal al-Haq adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Filsafat hanya akan membuat orang jauh dari jalan yang sebenarnya.
Di sisi lain, para teolog juga tidak dapat menerima filsafat. Mereka berpendapat bahwa apa yang diungkapkan oleh para filosof muslim bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, bahkan Islam menolak filsafat. Salah satu ahli teolog besar yang menetang keras filsafat adalah Abu Hamid al-Ghazali. Ghazali yang dipengaruhi oleh pemikiran tasawwuf menyebutkan bahwa dalam 20 pendapat Ibnu Sina bertentangan dengan Islam dan dalam tiga pandangannya telah sampai pada batas kafir. Tiga pandangan Ibnu Sina yang dianggap kafir oleh Ghazali adalah:
1. Keyakinan akan qidamnya alam.
2. Pengingkaran akan ilmu Allah atas obyek-obyek parsial dan kasuistik.
3. Pengingkaran terhadap hari kebangkitan manusia dengan jasad.
Setelah Ghazali, pemikir yang paling menentang filsafat adalah Fakhruddin ar-Razi. Ia meyakini bahwa ide-ide filsafat Paripatetik dan semua terjemahan pemikiran Yunani membuat agama menjadi kering. Penentangan terhadap filsafat dan pembakaran buku-buku filsafat membuat filsafat Islam mengalami kemunduran.
Sejarawan Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.
Ketika filsafat mengalami kemunduran di kawasan timur, muncul beberapa filosof di kawasan Barat. Mereka adalah Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Ibnu Bajah mengkonsentrasikan ide-idenya untuk melawan tasawwuf. Ia menganggap tasawwuf sendiri sebagai hijab dan penutup manusia dari kebenaran. Kebalikan dari cara pandang urafa, Ibnu Bajah menganggap satu-satunya jalan untuk mengenal adalah filsafat. Karena filsafat tidak dicampuri oleh segala macam kelezatan fisik. Ia menambahkan bahwa kemungkinan inilah yang membuat para filosof diasingkan oleh masyarakat yang bodoh.
Setelah Ibnu Bajah, muncul Ibnu Thufail dengan kisah monumentalnya Hayyu bin Yaqzhan. Kisah itu membuatnya terkenal. Dalam cerita falsafinya itu ia berusaha untuk membuktikan bahwa manusia dengan akalnya dapat mengenal Allah. Kemampuan itu dapat diraih sekalipun tanpa bantuan wahyu dan Nabi. Cerita ini sangat mendapat perhatian Barat, sehingga mereka menerjemahkannya dalam berbagai bahasa. Semua peneliti mengetahui bahwa Daniel Defoe yang menciptakan tokoh Robinson Crusoe benar-benar dipengaruhi oleh ide Ibnu Thufail.
Sebegitu terkenalnya kedua pemikir ini, masih di bawah bayang-bayang Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (520-595 H). Hal itu karena pengaruh Ibnu Rusyd lebih kuat dari keduanya. Ibnu rusyd seperti tokoh-tokoh filsafat Paripatetik lainnya, senantiasa berusaha untuk mengharmoniskan antara filsafat dan agama. Selain itu, ia juga menulis buku "Tahafut at-Tahafut" untuk menjawab tulisan Ghazali "Tahafut al-Falasifah". Dalam membela pemikiran filsafat, ia sampai pada kesimpulan bahwa hanya filosof saja yang mengetahui rahasia-rahasia al-Quran dan yang berhak untuk mentakwilkannya. Ibnu Rusyd menganggap bahwa kritikan Ghazali terhadap filsafat muncul karena Ibnu Sina tidak mampu menjelaskan filsafat sebagaimana yang dijelaskannya. Dengan itu, sebenarnya, bukan saja Ibnu Rusyd melakukan menjawab kritikan Ghazali tapi sekaligus mengkritik ibnu Sina.
Perbedaan ibnu Rusyd dengan farabi dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide Neo Platonisme. Ia lebih sedikit dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia menolak ide penciptaan dari tiada dan menetapkan keabadian materi. Ia menulis syarah buku-buku Aristoteles yang sampai saat ini masih dikaji oleh pengamat pikiran-pikiran Aristoteles. Begitulah William David Rush peniliti pikiran-pikiran Aristotels dalam buku-bukunya masih mempergunakan penjelasan Ibnu Rusyd. Dengan syarah-syarahnya atas buku Aristoteles pemikirannya banyak di kaji di Barat. Ernest Renan menganggapnya orang yang bebas. Sebelum menetapkan sebuah istilah ia adalah seorang yang bebas dalam berpikir. Pengaruh Ibnu Rusyd di Barat dapat juga dilacak lewat tulisan-tulisan pemikir Barat pada abad pertengahan yang menimbulkan semakin luasnya ide Rasionalisme di Barat. Ironisnya, pengaruhnya di Barat tidak sepadan dengan respon kaum muslimin di kawasan timur dunia Islam. Pengaruh tasawwuf yang cukup kuat membuat pikiran-pikiran filsafat Ibnu Rusyd tidak dikenal orang di sana.
Denga penjelasan yang lebih detil, pada periode ini perjalanan filsafat Islami ada ketaktertautan yang menganga. Di satu sisi, Ibnu Rusyd tidak dikenal oleh kaum muslimin dan di sisi lain, dengan meninggalnya ibnu Rusyd Barat menganggap filsafat islam telah tutup mata dan musnah. Akhirnya, filosof seperti Suhrawardi, Khajah Nashiruddin at-Thusi, Mir Damad dan Mulla Shadra tidak dikenal.
Buku "Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik" (Derakhshesh-e Ibnu Rusyd Dar Falsafe-ye Massha), merupakan buku dalam bahasa Parsi yang secara terperinci membahas ide-ide filsafat Ibnu Rusyd. Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani, dengan pengalaman bertahun-tahun mengajar dan menulis berusaha untuk memperkenalkan kecemerlangan pemikiran Ibnu Rusyd yang tidak terlalu dikenal di dunia Islam. Ia menyebutkan:
"Ibnu Rusyd begitu terkenal di pusat-pusat penelitian dunia. Di antara filosof Iran ia tidak begitu dikenal. Bukan omong kosong bila ada yang mengatakan bahwa selama delapan abad setelah meninggalnya ibnu Rusyd, belum ada buku berbahasa Parsi yang ditulis menjelaskan pemikirannya. Inilah yang mendorong penulis untuk menulis buku ini. Penulis berusaha untuk membahas dan menganalisa pikiran-pikiran Ibnu Ruysd. Sekaligus sebagai buku pertama bahasa Parsi yang ditulis dalam rangka mengkaji secara terperinci pemikiran Ibnu Rusyd."
Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik dimulai dengan kata pengantar yang cukup panjang. Karena di sana, dibahas juga tentang hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani. Di akhir kata pengantar ini, Ibnu Rusyd diperkenalkan sebagai filosof yang mengikuti ide-ide Aristoteles dan membela pemikiran Yunani.
Dinani menganggap bahwa Kebanyakan filosof muslim, terutama Farabi dan Ibnu Sina, dalam mengkaji ide-ide Aristoteles tidak mengambil sikap pasif, namun aktif melakukan kritik. Dengan alasan ini, kedua filosof ini tidak murni menganut pikiran Aristoteles. Pikiran filsafat mereka dipengaruhi Plato, Neo Platonisme dan pikiran mereka sendiri yang muncul ketika mereka melakukan kritik terhadap pikiran Aristoteles. Atas dasar inilah, Ibnu Rusyd menganggap ibnu Sina telah keluar dari bingkai pemikiran Aristoteles. Ebrahimi Dinani meyakini kebenaran tuduhan Ibnu Rusyd terhadap ibnu Sina. Namun, itu tidak berarti kekurangan ibnu Sina, melainkan untuk menunjukkan kebebasan berpikir dari Ibnu Sina. Dan di situlah kelebihan ibnu Sina. Dengan melihat penilaian Ibnu Rusyd atas Ibnu Sina dapat diketahui bahwa ia benar-benar sebagai perwakilan pemikiran Aristoteles.
Bab pertama buku ini "Pengaruh pemikiran Ibnu Ruysd dan Ibnu Sina terhadap karya-karya filsafat Barat di abad pertengahan". Dalam bab ini, Dinani membeberkan juga bagaimana Ibnu Ruysd dipengaruhi oleh ide-ide pemikir Islam sebelumnya. Selain itu, penulis juga menjelaskan pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd selama empat abad dalam pemikiran Barat. Ia membawakan dialog antara pemikiran Ibnu Ruysd dengan para pendeta.
Karya ibnu Rusyd pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa latin pada abad tiga belas. Bukunya diajarkan dan menjadi primadona di universitas-universitas Eropa. St. Aquinas pemikir paling terkenal di abad pertengahan yang dipengaruhi oleh ide-ide ibnu Rusyd. Di kalangan Yahudi yang terpengaruh pemikiran Ibnu Ruysd seperti; Musa bin Maimun, Yossef bin Yahuda dan pemikir-pemikir Yahudi Andalusia. Mereka menyebut Ibnu Rusyd sebagai semangat dan akal Aristoteles.
Bab kedua "Hakikat ganda atau dua hal yang dicerap dari hakikat yang satu". Bab kedua ini membicarakan tentang substansi hakikat menurut pandangan Ibnu Rusyd. "Hakikat ganda" atau "hakikat muzdawij" merupakan pandangan khas milik Ibnu Rusyd. Pendapat ini sangat menarik perhatian pemikir-pemikir Barat. Yang dimaksud dengan ide hakikat ganda Ibnu Rusyd adalah "Memiliki arti bahwa Ibnu Rusyd ingin membedakan antara hakikat yang dibawa oleh agama dan hakikat yang dipahami oleh para filosof". Setelah menukilkan dan menjelaskan teori hakikat ganda milik Rusyd, penulis kemudian melakukan analisa kritis terhadapnya. Yang paling menarik dalam bab ini adalah usaha penulis untuk menerapkan teori ini dalam berbagai disiplin ilmu; dimulai dari hubungan antara agama dan negara sampai masalah pluralisme agama. Pada akhir dari bab ini, Dinani menukil ibarat Ibnu Rusyd dan menganalisanya dan menyimpulkan bahwa sebenarnya ide Rusyd tidak bermakna ada dua hakikat tapi ada dua tingkatan hakikat; batin dan lahir. Mereka yang meyakini bahwa hakikat ada dua, dan bukan dua tingkatan, tidak tepat dalam memahami ibarat Ibnu Rusyd.
Bab ketiga "Musuh para teolog telah menggantikan mereka". Pada bab ini, dapat ditemukan kajian Dinani tentang hubungan pemikiran keagamaan Ibnu Rusyd dan Ghazali. Di sini, penulis membawakan contoh-contoh pentakwilan dari Ibnu Rusyd. Setelah membawakan contoh-contoh itu, penulis kemudian melakukan analisa. Akhirnya, Dinani meyakini bahwa kritikan dan cibiran Ibnu Rusyd terhadap para teolog mencakup dirinya juga. Mengapa demikian? Dinani melihat bahwa Ibnu Rusyd dari sisi kefaqihan dan pemikirannya membuatnya lebih mirip ahli teolog.
Bab keempat membicarakan usaha Ibnu Rusyd untuk mengharmoniskan fiqih dan filsafat. Cara pandang ibnu Rusyd terhadap fiqih membawa pada keyakinan akan terbukanya pintu ijtihad. Sayangnya, itu tidak diikuti dengan penjelasan yang lebih tentang substansi ijtihad dan bagaimana terbukanya pintu ijtihad itu.
Bab kelima "Tahafut at-Tahafut Ibnu Ruysd kritikan terhadap Ghazali ataukah kepada Ibnu Sina?". Bab ini menganalisa dua buku masyhur Ghazali dan Ibnu Rusyd. Di sela-sela itu, penulis membawakan pemikiran Ibnu Sina. Bab ini sangat menarik, karena penulis secara terperinci dan luas mengkaji kehidupan dan aktivitas sosial Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Informasi ini sangat menarik karena menyingkap banyak hubungan-hubungan yang selama ini tidak diperhatikan. Dan denganmembaca buku ini, semua itu dapat teraba dengan baik.
Bab keenam masih merupakan kelanjuta bahasan sebelumnya. Bab ini merupakan bagian paling sensasional. Karena membahas perbedaan antara Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Perbedaan mendasar pada masalah paling prinsip "hubungan antara mahiyah dan wujud". Penulis meyakini akan pentingnya masalah ini. Oleh karenanya, dengan sabar ia membahas masalah ini sejelas mungkin. Di akhir bab ini, penulis membawakan pandangan Ibnu Rusyd sambil juga membawakan pandangan pemikir-pemikir Islam dan kemudian menganalisanya.
Bab ketujuh "Ibnu Rusyd dan usaha menetapkan keberadaan Allah dengan dua dalil; Inayah dan Ikhtira'". Cara menetapkan keberadaan Allah lewat argumentasi imkan dan wujub tidak diterima oleh Ibnu Rusyd. Untuk itu, ia menawarkan argumentasi lain. Pertama, argumentasi Inayah yang berlandaskan kesiapan dunia untuk manusia dan tersedianya segala sesuatu untuk mannusia di dunia. Kedua, argumentasi Ikhtira', di mana manusia adalah mukhtara' (yang dibuat/dicipatakan) perlu akan mukhtari' (pencipta). Dalam bab ini, Dinani menganalisa pendapat ibnu Rusyd dengan membandingkannya dengan pendapat para filosof lainnya.
Bab kedelapan penulis membahas pengertian "Ghair Mutanahi bil Fi'l". Apakah pengertian ini kontradiksi atau tidak, dikaji secara terperinci. Pengertian istilah ini merupakan kajian yang dibahas baik dalam filsafat Yunani dan Islam. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan teori fisika dan meta fisika. Di sini, Dinani membahasnya dari sudut pandang Ibnu Rusyd dan pemikir lainnya.
Bab kesembilan membahas tentang "Kulli Tabi'i". Pertanyaan penting dalam masalah ini adalah, "apakah kulli tabi'i ada secara faktual?" Masalah wujud kulli merupakan kajian paling penting dalam sejarah filsafat. Dinani, membawakan pandangan para filosof Paripatetik, khususnya Ibnu Rusyd, sekaligus bentuk penafsiran-penafsirannya atas masalah ini.
Bab kesepuluh "Ibnu Rusyd beribicara tentang Maqashid Syariah". Filosof paling pertama yang berbicara tentang masalah ini adalah Ibnu Rusyd. Ia menolak cara pandang Mu'tazilah dan Asya'irah dan membawakan pandangannya dalam masalah ini. Menurutnya, mengetahui maqashid syariah sangat membantu seorang teolog dan faqih.
Bab sebelas "Tanpa akal fa'al tidak ada yang dapat berpikir". Posisi Ibnu Rusyd dalam masalah akal dijelaskan panjang lebar. Dalam bab ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan pengetahuan mulai dari akal hayulani hingga akal fa'al. Dijelaskan juga mengenai kekhususan setiap tahapan dan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Akal fa'al bagi para pensyarah Aristoteles merupakan bahasan yang penting, namun senantiasa buram dan ambigu. Itulah yang membuat Ibnu Rusyd membahas masalah ini juga. Di akhirnya dijelaskan pandangan Ibnu Rusyd tentang akal fa'al.
Bab kedua belas membahas kekhususan metode Ibnu Rusyd dalam tafsirannya terhadap filsafat Aristoteles. Bab ini masih merupakan kelanjutan kajian epistemologi filosof Andalusia ini dan hubungannya dengan disiplin lain seperti teologi.
Bab terakhir "Menurut Ibnu Rusyd, argumentasi rasional merupakan masalah batin". Pertemuan Ibnu Rusyd dengan Ibnu Arabi dan apa saja yang terjadi dengan keduanya dijelaskan di sini. Dari sini, penulis menuliskan kesamaan dan perbedaan antara dua pemikir besar ini. Yang satunya adalah tokoh Paripatetik dan satunya lagi tokoh tasawwuf. Selain itu, penulis juga membahas pikiran-pikiran lain Ibnu Rusyd.
Pentingnya buku ini karena ditulis oleh filosof tentang seorang filosof yang tidak begitu dikenal. Padahal, Ibnu Rusyd merupakan filosof penting Islam. Buku ini tidak hanya sekedar sejarah. Namun, sebagaimana tulisan lain profesor Dinani "Ma Jara-ye Fekre Falsafi Dar Jahan-e Eslam", buku ini dipenuhi dengan analisa mendalam dan menarik petualangan akal dalam pemikiran dan hati kaum muslimin. Mungkin itulah yang mendasari penulis untuk tidak memberikan sebuah tempat khusus untuk menuliskan sejarah hidup Ibnu Rusyd secara lengkap. Namun, di sela-sela pembahasannya setiap kali perlu menjelaskan kehidupan Ibnu Rusyd itu dilakukannya.
Penjelasan global seperti ini tidak dapat menjelaskan substansi buku ini. Sudah pasti bahwa tidak ada model pengetahuan apapun yang dapat menggantikan membaca. Bagi yang ingin membaca buku ini disyaratkan sedikit banyak telah mengetahui tentang filsafat Islam dan sejarahnya.
Buku ini dapat menjadi jembatan untuk lebih mengenal siapa Ibnu Rusyd, sekaligus menghidupkan kembali sisi-sisi yang selama ini tersembunyi dari filsafat dan budaya Islam. Kecemerlangan filsafat Islam membutuhkan karya-karya seperti ini.
Tentang Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani
Doktor Ghulam Hossein Ebrahim Dinani lahir pada tahun 1313 HS atau kira-kira 72 tahun lalu di desa Dinan bagian dari propinsi Isfahan. Di tempat kelahirannya ia menyelesaikan SD nya. Pada waktu itu, keinginannya keras sekali untuk belajar agama. Ini mengantarkannya belajar fiqih, usul fiqih, nahwu, saraf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia belajar pada Syaikh Muhammad Ali Habib Abadi dan Syaikh Abbas Ali Habib Abadi.
Beliau pada tahun pertama dari dekade 1330, 55 tahun lalu, pergi ke Qom. Di sana, secara serius ia melanjutkan pendidikannya. Di Qom, ia belajar Syarah Lum'ah, Rasail, Makasib. Begitu juga ia mengikuti bahts kharijnya di sana. Ia belajar pada Syaikh Abdul Javad Sedehi, Sulthani Thaba'taba'i, Mujahidi, Imam Khomeini, Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah Boroujerdi dan lain-lain. Pada saat yang sama, ia juga belajar Asfar Mulla Shadra dan Syifa Ibnu Sina kepada Allamah Thaba'thaba'i. Daya tarik pelajaran Allamah membuat profesor Dinani mengikuti kelas khususnya. Dan dengan izin dari Allamah ia mengikutinya.
Pada tahun 1340, 40 tahun lalu, ia berhijrah menuju Teheran. Ia mengikuti ujian dan berhasil mengikuti kuliah di fakultas ushuluddin universitas Teheran. Di fakultas ini, ia bertemu dengan pemikir-pemikir seperti doktor Javad Muslih, Malekshahi dan Rashid memberikan mata kuliah. Pada masa-masa itu, ia diterima oleh kementrian pendidikan sebagai pegawai negeri.
Pada tahun 1350, berdasarkan usulan Syahid Murtadha Muthahhari ia mengikuti ujian untuk menjadi asisten dosen di universitas Ferdousi Mashad. Ia di dua bidang; sejarah agama dan filsafat meraih urutan pertama. Ia kemudian memilih untuk lebih banyak aktif di bagian filsafat. Pada saat yang sama ia menyelesaikan program doktornya di Teheran. Akhirnya beliau secara resmi di terima di bagian filsafat universitas Ferdousi Mashad.
Doktor Dinani pada tahun 1361 dipindahkan ke Teheran masih dalam kelompok yang sama, filsafat. Semenjak itu, ia menjadi anggota tim studi filsafat universitas Teheran. Selain di bidang filsafat punya pandangan-pandangan khusus, ia juga seorang pemikir dalam bidang irfan dan fiqih. Dan dalam dua bidang ini, ia mempunyai banyak tulisan.[Saleh L]

ADA APA DENGAN NII


NII akhir-akhir ini menjadi sorotan sejak banyaknya orang-orang hilang yang diduga keras karena korban cuci otak oleh kelompok NII.
NII secara fiqh tidak bermazhab pada mazhab tertentu. Karena mazhab menurut mereka lahir setelah periode madinah, sementara mereka meyakini bahwa periode saat ini adalah periode Mekkah. Periode Madinah diterapkan jika Islam mengalami kejayaan. Dalam beribadah atau bermuamalah bisa mengambil bebas dari mazhab mana saja.Secara gerakan berkiblat ke tokoh Sayyid Quthb, Sayyid Hawa. Buku-buku tentang keduanya adalah buku-buku wajib yang mesti dibaca oleh para dai NII.
Secara ushuludin menganut faham imamah, kepemimpinan wajib ada. Maka dari itu mereka menerapkan konsep baiat kepada pemimpin (amir) mereka. Namun tidak jelas siapa imam mereka di dunia internasional. Apapun perintah amir wajib dilaksanakan meskipun bertentangan dengan orang tua. Posisi amir wajib ditaati melebihi orang tua. Hal ini didoktrin dengan kisah Nabi Nuh dan anaknya Kan’an.
Logika atau berpikir rasional adalah haram digunakan jika berhubungan dengan agama. Hal ini didoktrin dengan kisah Nabi Musa yang hendak menyeberangi lautan ketika dikejar Fir’aun. Nabi Musa disuruh memukulkan tongkat ke lautan. Ini tidak masuk akal, kenapa Allah memerintah memukul lautan bukan mengarahkan tongkatnya ke arah Fir’aun yang mengejar. Di sinilah, menurut mereka, logika tidak boleh digunakan. Yang harus adalah hanya keimanan atau taklid.
Doktrin lain, jauhi orang Syiah karena menurut mereka Syiah berbahaya karena tidak mungkin menang berdebat dengan orang Syiah yang memang rasionalitas dijunjung tinggi. Ketika bertemu dengan orang Syiah, jangan bicara, jauhi saja.
NII hanya pantang merekrut orang pada 2 kelompok: polisi/TNI dan orang syi’ah. Polisi/TNI karena musuh mereka (yang masih memiliki dendam turunan dari perjuangan pendirinya), sedangkan orang syi’ah karena tidak mungkin bisa dipengaruhi oleh mereka.
Tentang pengumpulan dana dari anggota-anggota kelompoknya seperti diberitakan oleh media massa adalah benar adanya. Infak selain zakat adalah wajib, ada infak pencuci diri, ada infak bulanan, ada infak tahunan, infak harta, dan infak penghasilan. Semua itu harus dikeluarkan dan dibayarkan kepada amir (pemimpin) mereka.
NII adalah virus keagamaan. Gerakan keagamaan dengan semangat mendirikan negara Islam namun tanpa model yang jelas.**
* Penulis adalah mantan siswa di yayasan pendidikan yang disusupi oleh gerakan NII di wilayah Jabar. Para aktivis NII menyamar menjadi guru-guru di sekolah MTs, MA dan pesantren di yayasan tersebut. Target mereka adalah merekrut para pelajar yang dijadikan kader. Selama 4 tahun mereka menjalankan aksinya, dan tahun keempat diketahui oleh ketua yayasan dan semuanya diusir dari yayasan tersebut

Dakwah


POKOK-POKOK KONSEP DAKWAH MUTHAHHARI
Disalin dari ://harjasaputra.wordpress.com

Dalam beberapa karyanya, meskipun dibahas secara terpisah-pisah, Muthahhari telah membahas mengenai permasalahan dakwah. Pemikirannya mengenai dakwah sedikitnya dapat dilihat di dalam beberapa karya beliau di bawah ini:
Pertama, dalam kitab Khatm Nubuwwah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul yang sama dengan judul aslinya, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The End of Prophethood, dan telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Akhir Kenabian (1988). Dalam subbab “Kenabian Dakwah”, Muthahhari telah membahas mengenai urgensi dakwah dan karakteristik dakwah Rasulullah.
Kedua, dalam kitab Payambar Ummy, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Al-Nabîy al-Ummiy, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Unschooled Prophet (1991), dan telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Akhlak Suci Nabi yang Ummi. Pada subbab “Menyeru kepada Kebenaran” dan “Prinsip-prinsip Berdakwah”, Muthahhari telah membahas secara luas mengenai metode-metode dakwah dan prinsip-prinsip utama dalam berdakwah.
Ketiga, dalam kitab Dah Guftor, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan. Pada subbab “Amar Makruf dan Nahi Munkar” dan “Retorika dan Mimbar”, Muthahhari juga telah menguraikan secara rinci mengenai permasalahan amar makruf dan nahi munkar sebagai perwujudan dari dakwah Islam dan faktor-faktor yang mendukung amar makruf nahi munkar tersebut.
Ketiga karya Muthahhari tersebut akan dijadikan buku primer sebagai rujukan utama oleh penulis dalam menganalisis pemikiran Muthahhari dalam bidang dakwah. Di bawah ini adalah ulasan mengenai pokok-pokok pikiran Muthhahari mengenai dakwah yang penulis dapat sarikan dari ketiga buku di atas.
A. Dakwah: Misi Utama Para Nabi dan Manusia
Menurut Muthahhari, para nabi secara keseluruhan melaksanakan dua misi: (1) menyampaikan hukum-hukum dan perintah Tuhan kepada manusia dan (2) mengajak umat manusia kepada Tuhan serta mendakwahkan perintah-perintah Ilahi yang sudah diwahyukan. Mayoritas para nabi diberi tugas kenabian untuk melaksanakan misi dakwah ini.
Dari misi utama para nabi tersebut, selanjutnya Muthahhari membagi bentuk kenabian ke dalam dua macam: (1) kenabian hukum Ilahi, dan (2) kenabian dakwah Ilahi. Muthahari menjelaskan, bahwa nabi-nabi yang tergolong dalam “kenabian hukum Ilahi” jumlahnya sedikit, yang dikenal dalam istilah disiplin ilmu keislaman sebagai ulul azmi, bertugas membawa hukum-hukum dan agama. Sedangkan nabi-nabi yang lainnya termasuk ke dalam golongan “kenabian dakwah Ilahi”, tugas mereka semata-mata berdakwah, menganjurkan dan mengajak manusia kepada ajaran-ajaran para nabi dari golongan “kenabian hukum Ilahi” sebelum mereka.
Muthahhari lalu menyebutkan bahwa Islam telah mengakhiri kenabian hukum Ilahi, demikian pula kenabian dakwah. Ia lalu mengajukan beberapa pertanyaan sebagai jalan untuk memasuki inti dari pemikirannya: Mengapa umat Islam tidak lagi mendapatkan pertolongan dan petunjuk para nabi dakwah? Kita boleh puas bahwa Islam, karena kelengkapan, kesempurnaan, keutuhan, kecukupan, kesempurnaan, dan kedalamannya telah mengakhiri kenabian hukum Ilahi. Tetapi, mengapa ia juga telah mengakhiri kenabian dakwah? Bagaimana hal itu dapat dibenarkan?
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, Muthahhari lalu menjelaskan secara gamblang mengenai inti pemikirannya tentang alasan berakhirnya kenabian hukum Ilahi dan kenabian dakwah Ilahi. Menurutnya, bahwa tugas utama kenabian wahyu Ilahi adalah untuk membawa hukum-hukum dan ajaran-ajaran Tuhan; sedangkan untuk menganjurkan dan menyiarkan hukum-hukum ini dan mengajak manusia agar berbuat menurut ajaran dan hukum-hukum itu adalah setengah tugas kemanusiaan dan setengah tugas Ilahi. Dalam posisi itulah sebetulnya tugas dari para nabi yang tergolong dari kenabian dakwah Ilahi. Para nabi tersebut bertugas sebagai da’i untuk mengajarkan hukum-hukum Tuhan yang telah dibawa oleh para nabi kenabian wahyu Ilahi.
Pertanyaan mendasarnya adalah: faktor apa yang menyebabkan kenabian dakwah ikut juga berakhir seiring dengan berakhirnya kenabian wahyu Ilahi? Apakah manusia dapat menggantikan posisi kenabian dakwah tersebut? Muthahhari lalu mengemukakan pokok pemikirannya, bahwa bangkitnya penalaran akal dan ilmu pengetahuan, pertumbuhan dan matangnya kemanusiaan, dengan sendirinya mengakhiri kenabian dakwah. Manusia yang berpengetahuan agama dan mengetahui ilmu hukum agama, mengambil alih tugas para nabi itu.
Untuk menguatkan pendapatnya, Muthahhari lalu menjelaskan pijakan-pijakan utama yang mendasari pemikirannya tersebut. Menurutnya, bahwa dalam ayat al-Qur’an yang pertama diwahyukan, Tuhan berfirman tentang membaca, menulis, pena, dan pengetahuan:

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-’Alaq: 1-5)
Ayat-ayat di atas memaklumkan bahwa zaman al-Qur’an diturunkan adalah zaman membaca, menulis, mengajar, pengetahuan, dan penalaran akal. Itu mencakup makna bahwa di zaman al-Qur’an, tanggung jawab pendidikan, dakwah dan pemeliharaan ayat-ayat Ilahi telah dialihkan kepada kalangan terpelajar (ulama) yang dalam hal ini menggantikan tugas para nabi.
Ayat-ayat di atas juga memaklumkan kematangan dan kemandirian manusia. Al-Qur’an dalam semua ayat-ayatnya, mengajak manusia untuk berpikir, menggunakan akal, mengamati alam secara obyektif dan empiris, menelaah sejarah, mendalami pengetahuan dan memahami secara mendalam. Ini semua adalah tanda-tanda akhir kenabian dan penggantian kenabian dakwah dengan penalaran akal dan pengetahuan. Muncul dan datangnya ilmu pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh manusia untuk melindungi, mengajak manusia dan menyiarkan agamanya inilah yang membawa kepada suatu akhir kenabian dakwah. Inilah alasannya mengapa Nabi Muhammad Saw menganggap para ulama Islam sama atau bahkan lebih tinggi daripada para nabi Bani Israel.
Di akhir pembahasannya mengenai kenabian dakwah, Muthahhari mengutip perkataan Muhammad Iqbal yang mendukung maksud dari inti pemikirannya:
“…nabi Islam tampak berdiri di antara zaman kuno dan zaman modern. Sejauh yang menyangkut sumber wahyunya, ia milik dunia kuno. Sejauh yang menyangkut ruh wahyunya ia milik dunia modern. Di dalam dirinya kehidupan menemukan sumber-sumber pengetahuan yang lain yang sesuai dengan arahnya yang baru. Lahir dan bangkitnya Islam adalah lahirnya intelek penalaran induktif. Dengan datangnya Islam, kenabian mencapai kesempurnaannya, sebagai hasil penemuan akan perlunya keberakhirannya sendiri. Ini meliputi pemahaman yang tajam bahwa kehidupan tidak dapat selama-lamanya dalam fase kanak-kanak ketika seseorang membutuhkan bimbingan yang terus menerus dari orang lain. Penghapusan kependetaan dan kerajaan turun menurun dalam Islam, seruan yang menerus kepada kebijaksanaan, akal dan pengetahuan al-Qur’an, dan penekanan bahwa kitab wawasan ini terletak pada Alam dan Sejarah sebagai sumber-sumber pengetahuan manusia, semuanya merupakan aspek-aspek yang berlainan dari gagasan yang sama mengenai kesimpulan Risalah (Kerasulan) tentang akhir kenabian. Oleh karena itu, tidak seharusnya dipandang sebagai nasihat bahwa nasib akhir kehidupan ialah penggantian emosi sepenuhnya oleh akal.”
Dengan demikian, dari pandangan Muthahhari di atas dapat diambil satu benang merah, bahwa kewajiban untuk menyebarkan dan mengajarkan wahyu Ilahi bukan hanya menjadi tanggung jawab para nabi, melainkan juga tanggung jawab manusia yang memiliki nilai-nilai kenabian, yaitu yang memiliki pengetahuan terhadap ilmu-ilmu Allah. Di sinilah letak urgensi dakwah dalam sistem ajaran Islam.
B. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Manifestasi Dakwah
Pokok pemikiran dakwah Muthahhari dapat ditelusuri pula dari pendapatnya mengenai prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sebagaimana halnya para ulama lain, Muthahhari pun menekankan pentingnya dakwah dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar. Menurutnya, amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu pokok amali Islam. Karena merupakan pokok, maka amar ma’ruf nahimunkar secara gamblang ditekankan di dalam al-Qur’an. Berikut ini adalah ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar:

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran [3]: 104).
Selanjutnya, dengan mengutip pendapat para ulama, Muthahhari secara sistematis membahas hal-hal yang terkait dengan amar ma’ruf nahi munkar. Pertama-tama, Muthahhari menyebutkan mengenai banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar; begitu juga hadits-hadits Nabi Saw dan para imam yang suci yang berbicara mengenai masalah ini, yang jumlahnya sangat banyak sekali, sehingga menurut seloroh Syahid ats-Tsani dapat mematahkan pinggang seseorang.
Berikutnya Muthahhari membahas mengenai apa saja syarat wajibnya amar ma’ruf nahi munkar. Menurut Muthahhari, dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar terdapat empat syarat: Pertama, ilmu dan pengetahuan. Kedua, kemungkinan mendatangkan pengaruh atau hasil. Ketiga, tidak adanya bahaya, atau menurut ungkapan sebagian fukaha, tidak mengakibatkan timbulnya mafsadat. Keempat, pelaku terus melakukan perbuatannya. Maksudnya, orang yang meninggalkan perbuatan yang ma’ruf atau mengerjakan yang munkar, tidak berpaling dan tidak menyesal dari apa yang dilakukannya.
Setelah membahas mengenai syarat-syarat amar ma’ruf nahi munkar, Muthahhari lalu membahas mengenai tingkatan-tingkatan amar ma’ruf nahi munkar, yang secara umum di dalam hadits-hadits disebutkan mempunyai tiga tingkatan, yaitu tingkatan hati, tingkatan lisan, dan tingkatan tangan—yang oleh Muthahhari ditafsirkan dengan menggunakan kekuasaan/hukum).
Pada tingkatan pertama Muslimin wajib merasa benci di dalam hatinya terhadap perbuatan-perbuatan melanggar hukum Allah, meninggalkan kewajiban Ilahi, serta melakukan larangan-larangan-Nya. Dan paling sedikitnya kebencian hati ini harus ditampakkan dengan tindakan negatif, yaitu menghindari pergaulan dengan orang tersebut. Demikian juga, ia harus menampakkan penyesalan atas apa yang mereka lakukan melalui raut muka. Pada tingkatan dengan lisan pun, pertama-tama harus melalui cara nasihat dan bahasa yang lembut; dan jika hal itu belum memberi manfaat, maka baru menggunakan kata-kata yang keras. Begitu juga pada tingkatan dengan tangan. Pada tingkatan ini diperlukan tindakan kekerasan untuk melenyapkan kejahatan dan keburukan, dan hal ini membutuhkan keterlibatan dari penguasa/aparat hukum. Karena, menurut Muthahhari, jika seluruh masyarakat umum diberikan wewenang untuk melakukan hal ini, maka akan timbul kekacauan di tengah-tengah masyarakat.
Setelah membahas mengenai tingkatan-tingkatan amar ma’ruf nahi munkar, Muthahhari lalu membahas mengenai pentingnya pembentukan lembaga pengawasan (ihtisab). Lembaga pengawasan ini berfungsi untuk menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat secara terorganisasi dan memiliki sistem dan target yang jelas. Orang-orang yang duduk dalam lembaga ini (muhtasibin), terutama orang yang berada di pucuk pimpinan lembaga ini haruslah seorang yang yang berilmu, bertaqwa, wara’, amanah, dan mempunyai kedudukan agama yang terhormat di tengah-tengah masyarakat. Mereka bertugas untuk memperhatikan dan mengawasi setiap pelanggaran masyarakat yang kemudian melakukan tindakan preventif dan kuratif untuk kemaslahatan umum.
Seperti diungkapkan Muthahhari, lembaga pengawasan (ihtisab) ini sangat penting untuk ada dalam sebuah masyarakat. Ia memiliki tugas yang lebih luas daripada cakupan tugas lembaga kepolisian yang ada dalam sebuah negara sekuler. Sebab cakupan lembaga pengawasan yang bertugas menjalankan amar ma’ruf nahi munkar lebih luas dari cakupan lembaga kepolisian yang hanya mengurus masalah kriminal dan pidana.
Namun, seperti disesalkan oleh Muthahhari, bahwa pemikiran umat Islam untuk membentuk sebuah lembaga pengawasan tersebut kini seakan-akan telah hilang dalam benak Muslimin. Sesuatu yang dahulu dianggap sebagai bagian dari tugas amar ma’ruf nahi munkar, dan atas nama amar ma’ruf nahi munkar mereka memperbaiki urusan masyarakat, sekarang sudah tidak dihitung lagi sebagai bagian. Dan kalaupun kadang-kadang seseorang menaruh perhatian kepada masalah amar ma’ruf nahi munkar, mereka tidak berpikir bahwa hal itu merupakan bagian dari kewajiban agama. Dengan sendirinya amar ma’ruf nahi munkar kini telah kehilangan artinya yang luas, dan pengertiannya kini telah dibatasi hanya yang terkait pada serangkaian masalah-masalah ibadah.
Dikarenakan pengertian amar ma’ruf nahi munkar yang terdapat di dalam pandangan masyarakat sudah dibatasi, dan masyarakat sudah tidak menganggap masalah perbaikan urusan-urusan kehidupan sosial sebagai bagian dari amar makruf dan nahi munkar, maka hasilnya adalah jika sebuah lembaga pemerintah hendak melakukan satu tindakan yang bersifat sosial, misalnya kebersihan lingkungan, pencegahan praktek penipuan penjualan, atau penertiban peraturan lalu lintas, masyarakat tidak merasa bahwa tindakan-tindakan ini mempunyai dasar dan warna agama. Karena, mereka tidak merasa bahwa hal ini merupakan satu kewajiban agama.
Masalah lain yang disoroti oleh Muthahhari dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar adalah bahwa kegiatan ini mesti didukung dengan sebuah upaya untuk mengorganisasikan seluruh tindakan individu menjadi sebuah aksi yang tersusun dengan rapi dan terprogram. Seperti dikemukakan Muthahhari, pada masa kini aksi amar ma’ruf nahi munkar yang bersifat individual tidak begitu bermanfaat. Tidak ada sesuatu yang dapat dibangun dari perbuatan yang bersifat individu, dari pikiran individu, dan dari keputusan individu. Harus ada kerja sama di antara seluruh individu yang bergerak dalam aksi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Di akhir pembahasannya mengenai amar ma’ruf nahi munkar, Muthahhari membahas mengenai pentingnya penggunaan logika dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar. Seperti disebutkan oleh Muthahhari, bahwa Muslimin jarang mengikutsertakan logika di dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Padahal, setiap perbuatan memiliki logika tersendiri yang menjadi kuncinya. Mereka lebih yakin bahwa yang memberikan pengaruh adalah lidah, bukan amal perbuatan. Dan dalam amal perbuatan pun perhatian Muslimin hanya tertuju kepada amal perbuatan yang bersifat individual, bukan amal perbuatan yang disusun secara sistematis dan terorganisasi.
Muthahhari lalu menjelaskan, bahwasanya pengikutsertaan logika dalam amar ma’ruf nahi munkar maksudnya adalah kemestian untuk berpikir tentang cara yang dapat mendorong masyarakat kepada satu perbuatan yang terpuji atau yang dapat mencegah mereka dari suatu perbuatan yang tercela. Muthahhari memberikan contoh dari sebuah peristiwa berikut ini yang beliau kutip dari sebuah makalah yang berjudul “Nasihat Keledai”:
“Beberapa tahun yang lalu di salah satu kota kecil di negara bagian Philadelphia, para wanita kecanduan permainan judi. Pertama-tama, para pendeta, para wartawan, para penceramah, dan para pemberi nasihat, berbicara dan menulis tentang keburukan permainan judi, khususnya bagi wanita. Akan tetapi ucapan dan tulisan mereka ini tidak ubahnya seperti kacang yang menghantam menara besar dan lalu jatuh. Sampai akhirnya wali kota mempunyai ide untuk membuka satu atau dua tempat pameran seni wanita, dan juga menampilkan kegiatan-kegiatan yang sesuai di sana, seperti perlombaan balita sehat, dan kemudian memberikan hadiah kepada ibu dari balita pemenang, pameran kerajinan tangan, dan yang lainnya. Setiap acara yang ditampilkan memiliki kekhususan tersendiri sehingga menarik minat masyarakat. Kegiatan itu terus dilakukan secara rutin. Sehingga dua atau tiga tahun setelah kegiatan-keiatan itu dilaksanakan, para wanita kota itu sudah melupakan perjudian sama sekali.”
Inilah yang dimaksud dengan memasukkan unsur logika dan pengaturan secara terprogram di dalam memerangi kemungkaran. Kemungkaran tidak cukup diberantas dengan “lidah”, melainkan harus dengan tindakan yang justeru bukan merupakan kekerasan melainkan sebuah tindakan kreatif yang dirancang untuk membasmi kemungkaran dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat menyenangkan. Di sinilah fungsinya logika berperan di dalam merumuskan ide-ide kreatif untuk merancang aksi-aksi yang jenius yang bertujuan bukan untuk menakuti-nakuti pelaku kejahatan melainkan untuk membuat mereka tidak melakukannya lagi melalui kegiatan-kegiatan yang menarik minat mereka.
Dari penjelasan Muthahhari mengenai amar ma’ruf nahi munkar di atas, kita mampu mencerna bahwa Muthahhari telah menyadarkan kesadaran kita untuk berdakwah dengan cakupan yang lebih luas. Bukan saja melakukan ceramah-ceramah yang bersifat “dakwah lisan”, melainkan juga harus menjangkau sendi-sendi kehidupan masyarakat yang lebih luas secara nyata, yaitu melalui pendirian sebuah lembaga khusus yang bertugas melakukan tugas amar ma’ruf nahi munkar yang mencakup seluruh sendiri kehidupan manusia yang lebih luas. Lembaga ini, kalau dahulu disebut dengan lembaga pengawasan (ihtisab), mungkin saat ini disebut dengan sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) atau lembaga pemerintahan yang bertugas mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakat. Lembaga inilah yang akan mengawasi seluruh penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat yang kemudian melakukan tindakan pencegahan (preventif) dan pemberantasan (kuratif) yang bersifat gradual dan berkeadilan yang sesuai dengan tujuan syariah Islam, yaitu untuk menciptakan kemashalahan umat.
Di samping itu, satu benang merah yang mesti diteladani oleh setiap aktivis dakwah dari pemikiran Muthahhari di atas, adalah mesti adanya satu usaha untuk mengorganisasikan dakwah menjadi satu aksi yang memiliki rencana, tujuan dan target yang jelas. Ide-ide kreatif dalam menggagas aksi dakwah yang lebih mendatangkan hasil dalam melakukan akitivitas dakwah harus menjadi perhatian pula. Sebab tidak jarang kemungkaran atau kejahatan tidak bisa diberantas melalui ceramah-ceramah yang terkesan menggurui apalagi melalui tindakan-tindakan kekerasan.
C. Prinsip-prinsip Berdakwah menurut Muthahhari
Secara khusus, Muthahhari telah membahas mengenai prinsip-prinsip berdakwah ini yang dapat dirinci ke dalam beberapa poin sebagai berikut.
Pertama, seorang da’i harus mempunyai rasa takut kepada Allah Swt. Hal ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an:

Artinya: “Dan dari golongan manusia dan hewan melata serta binatang ternak yang bermacam-macam jenisnya, sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. Sesunguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Pengampun” (QS. Fâthir: 28).
Seorang da’i sudah seharusnya takut kepada Allah sehingga rasa takut dan kebesaran Allah senantiasa melingkupi hatinya, hingga dapat menguasai dan mencegah bilamana bermaksud melakukan suatu kebathilan.
Kedua, seorang da’i hendaknya tidak takut kepada siapa pun juga kecuali kepada Allah. Muthahhari menjelaskan, bahwa ada perbedaan antara rasa takut kepada Allah dengan ketakutan kepada hal-hal lain. Ketakutan berkaitan dengan masa depan dan tujuan seseorang. Sedangkan rasa takut kepada Allah adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak berani untuk melakukan kesalahan. Kitab suci al-Qur’an mengatakan bahwa para da’i yang mendakwahkan perintah-perintah Allah sangat takut kepada-Nya sehingga mereka tidak berani melakukan kesalahan atau menunjukkan sedikit pun saja tanda-tanda ketidakpatuhan kepada Allah Swt. Di sisi lain, ketika mereka berhadapan dengan siapa pun selain Allah, mereka berani dan tidak takut sedikit pun.
Ketiga, seorang da’i harus memiliki sikap keteguhan hati. Hal ini terkait dengan keteladanan yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. Muthahhari dengan mengutip salah seorang penulis Barat mengenai kepribadian Nabi Saw. Di antara keteladanan yang diajarkan Nabi Saw adalah sifat-sifat Nabi, terutama kebijaksanaan dan kearifannya yang bahkan orang-orang non-muslim pun tidak dapat menyangkalnya. Selain itu adalah keteguhan hatinya, sehingga beliau tetap bertindak sesuai dengan keputusan dan kebijaksanaannya di segala kondisi. Banyak kejadian semasa beliau yang terlihat sangat pesimistik, sehingga orang lain sampai kehilangan harapan dan menyerah, namun Rasulullah tetap tegar dan stabil seperti sebuah gunung.
Keempat, di antara tugas dari seorang da’i adalah membangkitkan pikiran dan mengingatkan manusia. Membangkitkan pikiran berarti berpikir tentang sesuatu yang tidak diketahui seseorang dan menemukan sesuatu yang telah diabaikannya. Sedangkan mengingatkan berarti membuat sesuatu yang telah diketahui seseorang timbul kembali. Dengan kata lain, menurut Muthahhari, ada dua keadaan pikiran, yaitu ketidaktahuan dan ketertiduran (lupa). Terkadang seseorang mengabaikan lingkungannya bukan hanya karena ketidaktahuan, tetapi juga karena ia dalam keadaan tertidur atau bermimpi ataupun lupa, dan karena itu ia lalai dan tidak menggunakan pengetahuannya.
Allah mengingatkan Rasul-Nya bahwa beliau tidak hanya berhadapan dengan orang-orang yang bodoh saja namun juga dengan mereka yang lalai. Kemudian Dia memerintahkan beliau untuk tidak membangkitkan pikiran pada orang-orang yang bodoh agar mendapatkan pengetahuan saja, tetapi juga mengingatkan orang-orang yang lalai dan yang berpengetahuan. Dikatakan oleh Muthahhari, bahwa secara umum orang-orang itu lalai, dan hanya sedikit yang bodoh. Allah memerintahkan kepada Rasul untuk mengingatkan mereka yang lalai dan membangkitkan pikiran pada mereka yang bodoh, sehingga ketika mereka sadar, mereka akan dapat mengatasi masalah-masalah mereka sendiri.
Berkenaan dengan hal tersebut, Muthahhari membuat sebuah illustrasi dengan seseorang yang tertidur dan kereta apinya akan segera berangkat. Jika kita membangunkan orang itu, maka ia akan segera mengejar keretanya dan kita tidak perlu mengingatkan tentang kerugian dari tidurnya itu. Rasulullah juga datang untuk membangunkan perasaan seperti itu. Keimanan adalah ibarat perasaan yang terpendam dan telah ada benihnya dalam diri setiap manusia. Tugas Nabi begitu juga seorang da’i adalah untuk menggugah perasaan terpendam tersebut agar mereka sadar akan hakikat yang sebenarnya.
Itulah keempat prinsip-prinsip berdakwah yang dikemukakan oleh Muthahhari. Kita dapat melihat bahwa gagasan Muthahhari mengenai prinsip-prinsip dakwah di atas sangat jelas dan menyentuh inti pembentukan kualitas diri da’i yang akan menunaikan tugas suci sebagai pengganti tugas para nabi.
D. Metode Dakwah menurut Muthahhari
Lebih jauh, berikut ini akan disajikan mengenai metode dakwah menurut pandangan Muthahhari.
Pertama, dakwah tidak diperbolehkan melalui usaha-usaha yang menipu dan cara-cara yang keliru. Seperti dikemukakan oleh Muthahhari, bahwa Islam sama sekali tidak dapat berdamai dengan kesalahan, dan Islam dengan alasan apapun tidak membolehkan untuk menggunakan jalan kebohongan untuk mencapai kebenaran.
Dengan mengutip pandangan dari Haji Mirza Husain Nuri, guru dari Almarhum Haji Syaikh ‘Abbas Qumi, Muthahhari menyebutkan dua kesalahan yang sering dilupakan oleh para da’i:
  1. Mereka tidak berkata benar, dengan mengatakan jika mereka menyebutkan sebuah hadits lemah yang kemudian terbukti palsu, maka hal itu dianggap tidak akan menjadi masalah karena tujuan mereka lebih penting.
  2. Mereka yakin bahwa tujuan mereka adalah untuk mendorong orang untuk menangisi Imam Husain; dan karenanya dianggap sebagai tujuan yang luhur.
Mengenai poin pertama, Muthahhari mengatakan bahwa Islam secara tegas melarang penggunaan kebohongan di bawah kondisi apa pun, sekalipun untuk menyiarkan agama.
Sehubungan dengan poin kedua, Muthahhari pun mengajukan kritik khususnya terhadap para da’i syi’i yang lebih menekankan untuk menangisi Imam Husain meskipun dengan cara-cara yang salah. Berkenaan dengan hal tersebut, Muthahhari mengutip contoh yang dibawakan oleh Haji Mirza Husain Nuri. Yakni kisah tentang sarjana dari kelompok Yazdi yang sedang dalam perjalanan melewati padang pasir untuk mengunjungi tempat suci Imam Ridha As di Masyhad. Karena perjalanan ini terjadi di bulan Muharram dan malam Asyura, ia sangat kecewa karena takut tidak sampai ke Masyhad agar ia dapat menghadiri upacara perkabungan untuk Imam Husain As. Karena tidak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk tinggal di sebuah desa dan menghadiri upacara berkabung di sana.
Seorang khatib naik ke mimbar dan orang-orang yang hadir di masjid membekalinya dengan sekantung batu. Sang khatib kaget ketika tak seorang pun yang menangis selama khutbah. Lalu si khatib mematikan lampu dan mulai melemparkan batu-batu itu kepada orang-orang yang hadir. Orang-orang mulai menangis dan berteriak. Setelah upacara selesai, cendekiawan Yazdi bertanya kepada khatib, mengapa ia melakukan kejahatan seperti itu. Ia menjawab, “Ini adalah satu-satunya cara untuk membuat orang-orang itu menangisi Imam Husain As, dan saya harus menggunakan cara apa pun yang mungkin untuk dapat membuat mereka menangis”. Cendekiawan itu mengatakan bahwa sang khatib tersebut salah dan mengatakan bahwa kesyahidan Imam Husain memiliki cerita yang cukup menyedihkan hati untuk membuat orang-orang itu mencucurkan air mata, jika memang mereka benar-benar cinta dan pengikut setia Imam Husain. Tetapi jika orang-orang itu tidak mengetahui siapa Imam Husain, mereka tidak akan menangis bahkan untuk ratusan tahun mendatang.
Dari kisah yang dikutip Muthahhari di atas, beliau sesungguhnya hendak mengatakan bahwa tujuan utama para da’i adalah bukan membuat orang-orang untuk menangisi Imam Husain, melainkan memberikan pengajaran mengenai kepribadian dan keteladanan dari Imam Husain. Setelah mereka mengenalnya, maka dengan sendirinya mereka tidak usah dipaksa untuk menangisi Imam Husain karena mereka akan menyelaminya sendiri berdasarkan pengajaran-pengajaran yang telah diberikan.
Kedua, berdakwah harus dimaksudkan untuk “melapangkan dada seseorang”, yaitu meningkatkan kapasitas iman dalam hatinya. Terkadang penyampaian perintah melalui penjelasan-penjelasan yang nyata tidaklah cukup; seorang da’i harus juga mempengaruhi akal dengan menyampaikan pesan-pesan itu secara benar. Apa yang disampaikan kepada mata dan telinga tidak selalu diterima oleh kesadaran dan pengetahuan. Apa yang mengubah pesan menjadi kesadaran bukanlah suara ataupun bentuk dari simbol-simbol tulisan, namun sesuatu yang disebut dengan nalar dan logika. Pengetahuan tidak menerima selain nalar dan logika. Muthahhari lalu mengutip ayat al-Qur’an surat an-Nahl [16]:125:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.
Artinya: “Serulah manusia menuju jalan Tuhanmu dengan hikmat (pengetahuan), pengajaran yang baik, dan ajaklah mereka berdebat dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang telah sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui siapa saja yang diberikan petunjuk”.
Ayat di atas dikutip oleh Muthahhari untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an pun telah menggariskan metode dakwah yang relevan, yang salah satunya melalui metode hikmat, yaitu pengetahuan yang berbasis kepada nalar dan logika.
Ketiga, dakwah mesti disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami yang dapat meresap ke dalam hati dan jiwa manusia yang paling dalam. Muthahhari menegaskan, bahwa di dalam menyampaikan pesan-pesan Ilahi seorang Nabi sangat berbeda dengan seorang filosof. Seorang filosof, bagaimanapun pun beratnya ia berupaya, hanya dapat mempengaruhi pikiran manusia saja. Dan itu pun hanya untuk kalangan tertentu. Selain itu, dalam menyampaikan gagasannya seorang filosof perlu menggunakan terminologi khusus dengan ratusan frase dan istilah yang sulit untuk dipahami secara sekilas. Sebenarnya mereka melakukan hal demikian karena ketidakmampuan mereka dalam mengungkapkan secara sederhana. Di sisi lain, para nabi tidak memerlukan ungkapan terminologi yang demikian. Mereka mengungkapkan seluruh gagasannya dalam kata-kata yang sangat jelas dan mudah dipahami. Apa yang telah dikatakan dalam fraseologi filosofis yang membingungkan mengenai masalah Keesaan Tuhan, diungkapkan oleh para Rasul dalam dua kalimat sederhana, mudah dipahami, dan meresap ke dalam hati siapa saja yang mendengarnya.

Artinya: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah Maha Utuh. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia” (QS. Al-Ikhlas [114]:1-4).
Pada ayat di atas, prinsip filosofis mengenai keesaan Allah diungkapkan dalam kata-kata yang sederhana dan sangat mudah dipahami.
Selanjutnya Muthahhari menekankan, bahwa hanya seorang da’i yang pesan-pesannya disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang benar dan kuat, namun sederhana dan memberi penerangan yang akan berhasil dalam menyeru manusia kepada Allah. Khutbah Imam Ali, misalnya, yang amat fasih, masih dapat dimengerti oleh orang awam dan orang yang hadir dapat menarik manfaat dari khutbah-khutbah ini berdasarkan tingkat pemahaman mereka masing-masing.
Keempat, dakwah harus mengandung kabar gembira dan peringatan. Hal ini terkait dengan karakteristik utama kenabian sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, sebagaimana yang termaktub dalam ayat al-Qur’an di bawah ini.

Artinya: “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah (QS. Al-Ahzâb [33]:45-47).
Muthahhari menjelaskan bahwa membawa berita gembira adalah sesuatu yang membesarkan hati. Ketika seseorang hendak mengajak anak-anaknya untuk mengerjakan sesuatu, ada dua cara untuk melakukannya, apakah dengan memakai kabar gembira atau dengan memberikan peringatan, atau keduanya pada waktu yang bersamaan, sama-sama akan membawa keberhasilan.
1. Membesarkan hati dengan berita gembira. Sebagai contoh, jika seseorang ingin mengirim anaknya ke sekolah, ia akan bercerita tentang segala sesuatu yang menarik tentang sekolah dan manfaat yang akan ia peroleh dari sekolah itu. Cerita ini akan membesarkan hati si anak dan mendorong perasaan dan cintanya terhadap sekolah.
2. Memberi peringatan tentang akibat buruk. Seorang anak yang telah diterangkan tentang akibat buruk tidak bersekolah dan tetap buta huruf, akan lebih senang pergi ke sekolah daripada tidak.
Membesarkan hati dan membawa kabar gembira harus selalu diutamakan dan peringatan mengikutinya sebagai pendorong. Kadang-kadang kedua metode tersebut dipergunakan karena keduanya diperlukan dan terkadang berita gembira saja tidak mencukupi. Membawa berita gembira sangat diperlukan, tetapi bukanlah metode yang cukup. Hal ini berlaku pula dalam memberi peringatan. Alasan mengapa al-Qur’an disebut sebagai Sab’u al-Matsani, adalah karena al-Qur’an menggunakan secara selaras antara berita gembira dan peringatan.
Demikian pula dalam berdakwah, seperti disebutkan oleh Muthahhari, dua metode ini seharusnya dipergunakan hingga yang satu menjadi pelengkap bagi yang lainnya. Sangat salah apabila hanya menekankan pada kabar gembira saja dan melupakan peringatan. Keduanya harus dipergunakan, meskipun lebih banyak “kabar gembira” yang diberikan dan lebi sedikit “peringatan”. Karena itulah, dalam kitab suci al-Qur’an kata “membawa kabar gembira” selalu mendahului “memberi peringatan” dalam banyak ayat-ayatnya.
Itulah pembahasan mengenai metode dakwah yang digagas oleh Muthahhari. Metode-metode dakwah yang telah dijelaskan di atas terlihat sangat spektakuler sebagai sebuah metode dakwah yang original, sangat mendasar, dan aplikatif sebagai sebuah metode ideal dalam kegiatan dakwah di masa kini. Ide-ide mengenai dakwah Muthahhari di atas adalah sebuah jawaban dan harapan yang cerah untuk perkembangan ilmu dakwah, dan untuk memajukan masyarakat Islam yang memang sedang membutuhkan pemikiran cemerlang untuk kembali membangun peradaban dunia.
Lihat Murtadha Muthahhari, Akhir Kenabian, terjemahan dari kitab “The End of Prophethood” oleh Rusmanhaji, (Lampung: YAPI, 1988), h.30-36.
Lihat Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi, terjemahan dari kitab “The Unschooled Prophet” oleh D. Sofyan & Agustin, (Bandung: Mizan, 1995), h.149-196.
Lihat Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, terjemahan dari kitab Dah Guftor oleh Ahmad Subandi (Penulis), (Jakarta: Lentera, 1999), h.61-83.
Murtadha Muthahhari, Akhir Kenabian, Op.Cit., h.30.
Murtadha Muthahhari, Akhir Kenabian, Ibid., h.31.
Ibid., h.33.
Ibid., h.35-36.
Muhammad Iqbal yang dikutip Muthahhari, Ibid., h.36.
Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, Op.Cit., h.62.
Ibid., h.63.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.70.
Ibid., h.74.
Ibid., h.83.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.84.
Murtadha Muthahhari, Akhlah Suci Nabi yang Ummi, Op.Cit., h.180.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.180-181.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.181-182.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.149-150.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.151.
Ibid., h.151-152.
Ibid., h.160.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.162-166.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.170.
Karena memuat tujuh pasang, yang merujuk kepada fakta bahwa “kabar gembira” dan “peringatan” disebutkan secara bersamaan sebanyak tujuh kali.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.171