Mengenai Saya

Foto saya
Hidup ini indah, maka hiasilah kehidupan ini dengan keindahan

Senin, 27 Februari 2012

Manusia sebagai khalifah dalam persfektif akal


 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah      di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal  kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (QS. Al Baqarah; 30)
Pendahuluan
Manusia merupakan mahuk yang unik dimana berbeda dengan yang lain baik manusia satu dengan yang lain ataupun manusia dengan ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut dikarenakan manusia terlahir dan proses belajar berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam proses belajar dan lingkungannya tersebut memiliki sifat yang berbeda dalam menentukan sesuatu. Penentuan keputusan terhadap suatu permasalahan tidak dapat dilepaskan oleh lingkungan yang mempengaruhinya sehingga keputusannya sesuai dengan lingkungannya. Dari lingkungan yang beragam ini, menjadikan manusia memiliki sifat serta karakter yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Al Qur’an;  Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al Hujuurat ; 13). Sebagaimana di ungkapkan dalam al Qur’an bahwa manususia berbangsa dan bersuku untuk memahami dan mengerti, dengan memahami dan mengerti tersebut diharapkan dapat menciptakan kerjasama yang baik dalam menciptakan yang baik. Usaha manusia dalam memahami dan empati tersebut menandakan bahwa setiap individu yang ada berbeda dengan yang lain sehingga menjadikan manusia sebagai mahluk yang unik.
Membicarakan manusia suatu hal yang menarik dan masih layak dikaji dikarenakan ketika kita mengkaji maka makin bijaksana dalam menyikapi sesuatu. Manusia merupakan salah satu mahluk yang diciptakan oleh Tuhan berbeda dengan yang lain. Perbedaan tersebut menjadikan memunculkan keistimewaan yang ada dalam manusia.  Dalam psikologi salah satu kekhasan manusia adalah keinginan untuk mencari makna. Hal tersebut diungkapkan oleh Victor Frankl yang mnceritakan pengalamannya pada waktu di kamp konsentrasi Nazi  pada Perag Dunia II. Dalam kengerian di penjara, dengan bayang-bayang pembantaia n dengan menggunakan gas beracun, tetapi rankl mendaoatkan pelajaran bahwa orang yang memiliki tujuan atau makna dalam hidupnya dapat bertahan dan berkembang bahkan dalam situasi yang paling mengerikan. Sebaliknya orang yang tidak menemukan makna dalam hidupnya dengan cepat melemah, roboh dan mati karena antipati serta putus asa. (Jalaluddin Rahmat, 2003)
Seyyed Hossein Nasr mengkisahkan model manusia diambil dari salah satu tokoh Titan, keluarga raksasa bernama Promotheus dalam legenda Yunani Kuno yang ditulis oleh Penyair Hesiod. Dalam legenda tersebut Prometheus menciptakan manusia dari lempung  mengajari manusia seni dan memberinya api yang dicuriya dari Zeus bapak dewa-dewa Olimpia dan manusia. Nasr mengambil manusia Prometheus sebagai citra manusia dan lambang. (M. Dawam Raharjo, 2002). Dari cerita legenda Yunani Kuno tersebut bahwa manusia merupakan ciptaan dan dimana dalam ciptaan tersebut diajarkan untuk memahami dalam memahami tersebut sebuah disiplin dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang ada dalam manusia merupakan refleksi dari akal dan lingkungan dikaji secara terus menerus oleh manusia. Pengungkapan pengetahuan dengan menggunakan akal dan lingkungan yang dikenal dalam epistimologinya rasionalisme dan empirisme.  Dari ungkapan tersebut, menjadi suatu yang menarik dalam diri manusia sehingga menjadi mahluk mulia, bahkan dapat menjadi hina. Tuisan sederhana ini, mencoba mengungkapkan manusia dari akal yang dimilikinya sehingga menjadinyanya sebagai pengganti Tuhan di muka bumi.
Pengertian akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aql yang secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. (Francisco Moreno Jose, 1994).  Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang maknanya adalah “fahima wa tadabbaro  yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql,sebagai mashdarnya, maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca indra. (Pengertian Akal, dalamhttp://kusmardiyanto-islamadalahkebenaran.blogspot.com). Sedangkan pengertian akal yang lain adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikanformalmaupun informal, dari manusia pemiliknya.  Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah. (Dani Vardiansyah,  2008).
Selanjutnya, pengertian akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan. Dengan akal, dapat melihat diri sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan sekeliling, juga dapat mengembangkan konsepsi-konsepsi mengenai watak dan keadaan diri kita sendiri, serta melakukan tindakan berjaga-jaga terhadap rasa ketidakpastian yang es ensial hidup ini (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam wikipedia.com). Kemampuan berfikir mengantarkan pada suatu kesadaran tentang betapa tidak kekal dan betapa tidak pastinya kehidupan ini. (Francisco Moreno Jose, 1994). Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman dan tadabbur. Akal merupakan suatu kata kerja sehingga bersikap aktif terhadap realitas lingkungan dikarenakan akal merupakan pengontrol dan pelaksana dari kebijakan yang dilakukan oleh tubuh.  Secara maknanya akal merupakan menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.  Pengetahuan yang diperoleh akal merupakan pensistematisan dari tangkapan panca indera sehingga akal mensistematiskan dan membedakan anatara tangkapan indera yang satu dengan yang lain.
Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:
1.            Akal instink: Akal manusia di awal penciptaannya, yakni  akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumen
2.            Akal teoritis: Akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ilmu ontology), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan akhlak).
3.             Akal praktis: Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah dicerapnya .
4.             Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.
5.            Juga akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.
6.            Akal substansi: sesuatu yang non materi dimana memiliki zat dan perbuatan. (Ruhulllah Syams dalam www.al-shia.org)
Pengungkapan akal tersebut berserta macam-macamnya merupakan suatu potensi yang dimiliki oleh manusia sebagai mana dikatakan sebagai mahluk yang unik serta memiliki kemampuan memilih perbuatan dan mempertanggungjawabkannya. Pilihan dan pertanggungjawaban tersebut, merupakan suatu bentuk manusia dalam menggunakan dan memaksimalkan akal yang dimilikinya.
Letak akal pada tubuh manusia, Al Ahnaf dan Al Hanabilah mengatakan bahwa akal itu letaknya fiddimaagh yakni di kepala, dengan alasan jika kepala itu dipukul dengan benda keras, maka akan hilang akalnya, mereka mengatakan lagi bahwa orang-orang Arab menyebut orang yang berakal dengan “waafiruddimagh” (penuh / sempurna akalnya) sedangkan pada yang lemah akal dengan “khofiifuddimaagh” (ringan / kurang sempurna kepalanya). Adapun ulama yang lain mengatakan letaknya akal adalah di hati, dan pendapat ini juga dinisbatkan kepada para dokter -yakni ahli kedokteran yang dulu serta  dalam firman Allah, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?…” (QS. Al Hajj: 46). Selanjutnya Umar ibnu Khatthab yang ditujukan pada Ibnu Abbas, “Ia adalah pemuda yang berhati dapat memahami.” Dan kesimpulannya ialah bahwasanya akal mempunyai kaitan dengan kepala dan hati secara bersamaan, di mana tempat munculnya pemikiran dan ide adalah kepala, sedangkan munculnya kemauan dan maksud dari dalam hati. Jadi seorang yang berkeinginan tidaklah akan berkeinginan kecuali setelah ada gambaran yang diinginkan, sementara gambaran itu tempatnya di kepala. (Pengertian Akal dalam http://fdawj.atspace.org)
Sistem Kerja Akal
Akal manusia secara bilogis di identikan dengan otak, tetapi dari pengertian akal berbeda dengan otak dimana dalam akal merupakan suatu bentuk yang aktif sedangkan otak sebaliknya yakni pasif atau untuk mengungkapkan benda. Otak manusia terdiri dari 3 pon benda seperti adonan berwarna putuh dan keabu-abuan dan milyaran komponen yang bekerja. Dalam sekejap otak dapat melakukan ribuan komunikasi yang saling terhubung. Komunikasi yang terhubung tersebut menjadikan manusia melakukan interaksi sangat cepat dengan lingkungan (Muhammad Chirzin, 2008). Interaksi antara akal dan lingkungan menjadikan manusia menciptakan sebagainama Tuhan. Tuhan mencipkan dari tiada menuju ada dari kosong menjadi berisi sedangkan manusia menciptakan dari ada ke bentuk yag baru atau kreasi. Hal tersebut, diungkapakan dalam firmannya; “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh”  (QS. Yusuf; 14). Manusia merupakan penjelmaan Tuhan yang menciptakan makanya manusia miliki sifat yang sama dalam melakuan penciptaan dari akal yang dilakukan secara  maksimal. Penciptaan tersebut melahirkan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yang menjadi basis peradaban yang dilakukan oleh manusia.
Peradaban tersebut merupakan suatu hasil dari kebudayaan manusia sebagaimana diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Antropologi, kebudayaan merupakan keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia, dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan merupakan seluruh hasil tindakan manusia karena hanya sedikit tindakan manusia yang tidak diterapkan dalam bejar seperti tindakan refleks, dan beberapa tindakan proses fisiologi. Kata kebudayaan berasal  dari kata sangsekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kata budaya merupakan kata majemuk dari budi-daya, yang berarti daya dari budi.  Oleh sebab itu ada yang membedakan antara kebudayaan dan budaya. Budaya  merupakan daya dari budi yang berupa cipta rasa dan karsa dan kebudayaan merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa. (Koentjaraningrat, 1990)
Manusia dalam karyanya dapat dilihat dalam seting sejarah, seting psikologis situasi emosional dan intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, 1999). Karya manusia merupakan suatu bentuk kebudayaan sehingga manusia mensejarah dan untuk membuat sejarah dalam kehidupannya. Kedudukan manusia yang mencipta serta mensejarah  itu menjadikan ciri khas manusia dari pada mahluk yang lain.
Pengungkapan manusia sebagai mahluk mensejarah juga dibahas oleh Freire, dengan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tersebut, sehingga manusia dikatan sebagai mahluk yang mensejarah sebagai mana diungkapkan oleh Paulo Freire. Manusia menurut Paulo Freire manusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dengan hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusia dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi  intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, 2002).
Manusia dengan dikarunia akal yang digunakan untuk megelola alam, serta menggali manfaatnya dapat digunakan untuk kepentingan kemusiaan. Interaksi manusia dengan alam dan memanfaatkan alam dengan bekerja. Kerja merupakan aktualisasi diri dengan segenap kemampuan dan mengelola alam diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bekerja merupakan salah satu wahana dari terciptanya suatu kebudayaan. Kebudayaan yang dihasilkan merupakan kebudayaan bagaimana manusia dapat memanfaatkan sumber daya alam. Kebudayaan dalam hal ini bisa mencapai kerangka berfikir untuk survaiv dalam alam dan menghasilkan alat guna pengelolaan alam. Alat yang dihasilkan oleh manusia dalam sejarahnya dari yang klasik samapai dengan sekarang yang modern. Alat klasik dapat dilihat dari zaman manusia zaman dulu dalam memanfaatkan alam seperti bentuk kampak yang terbuat dengan batu atau kerang. Sedangkan untuk zaman sekarang merupakan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan alam.
Kebudayaan yang dihasilkan tidaklah bersifat statis tetapi bersifat dinamis, seirama dengan perubahan zaman yang senantiasa mencair. Sekali kebudayaan bersifat statis, pola fikir dan gaya hidup suatu masyarakat mengalami stagnasi dan dalam stagnasi disini mengandung makna pembusukan. Oleh karena itu manusia yang mensejarah berupaya mendukung kebudayaan tidak boleh lengah dalam mengantisaipasi perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi tidaklah selalu bermakna positif tetapi manusia akal manusia berupaya melakukan penyaringan terhdap peruban tersebut. (Ahmad Syafi’i Maarif, 2004). Peran akal dalam manusia memegang peranan yang penting dimana dia penghasil kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat juga merupakan pengotrol atau penyaring kebudayaan yang berlau di dalam masyarakat tersebut.
Kedudukan Akal dalam Islam Melihat Kedudukan Manusia
Akal merupakan salah satu unsur manusia yang penting karena dengan akalnya menjadikan dirinya pantas eksistensinya dikatakan sebagai manusia. Pengungkapan eksistensi manusia tersebut yang berdasarkan akal dikarenkan dengan akal tersebut banyak sekali tanda-tanda dalam mengenal Tuhan. Hal ini, dijelaskan dalam firmannya; “Al Quran ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran” (QS. Ibrahim; 52). Dalam surat Ibrahim memberikan keterangan bahwa al Qur’an merupakan penjelasan dan petunjuk manusia agar mengambil pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Ungkapan pelajaran dalam surat tersebut merupakan hikmah atapun manfaat yang diperoleh dalam mempelajari al Qur’an dan seandainya manusia menggunakan akalnya makanya dapat mengambil pelajaran, tapi jika tidak menggunakan akalnya hanya melewati tanpa berbekas.
Karena merupakan usur yang penting agama Islam menempatkan akal sangat mulia sebagai sumber ilmu pengetahuan dan juga sumber kebenaran yang dilakukanoleh manusia. Sebagai sumber illmu pengetahuan akal merupakan salah satu unsur epistemologi dalam filsafat ilmu dimana ilmu merupakan suatu hal yang rasional dan menyeruapi atau memiliki kesamaan dengan akal. Dengan akal tersebut manusia dapat mebedakan perbuatan baik dan juga perbuatan buruk berdasarkan pengalaman yang dimiliki, misalkan perbuatan baik akan mendatangkan kebahagian bagi orang lain dan tidak merugikan sedangakan perbuatan buruk itu kebalikannya. Itu merupakan fungsi akal yang sederhana dalam manusia. Akal juga dapat mengenal Tuhan dimana manusia dengan merenungkan proses penciptaan langit dan bumi, sebagaimana di jelaskan dalam firman-Nya;  “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(QS. Al Imran 190-191).  Dalam ayat tersebut menceritakan tentang bagaimana fungsi akal yakni orang-orang yang mngingat Allah dalam keadaan apapun serta memikirkan ciptaan-Nya, selanjutnya berucap bahwasanya segala yang diciptakan-Nya tidaklah sisa-sia dan kemudian berdo’a memohon agar dapat terhindar dari api neraka.
Selanjutnya akal merupakan sumber pencarian keberan setelah Al Qur’an dan Hadits. Sumber kebenaran setelah Al Qur’an dan Hadist adalah akal fikiran manusia tertuang dengan ijtihad dalam mengambil segala keputusan yang keluar. Ijtihad yang dilakukan manusia merupakan pengungkapan kebenaran bila tidak tertuang dalam Al Qur’an dan Hadits dengan cara mencurahkan segala pemikiran serta melihat berbagai fenomena sosial untuk mencari dasar hukum dalam persoalan yang dihadapi. Akal memiliki fungsi juga sebgai sumber pengaplikasian terhadap wahyu yang telah di berikan oleh Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasullullah Saw sehingga menghasilkan piagam madinah serta sebagai konstitusi negara yang modern. Konstitusi tersebut menganyomi segala unsur serta memberikan keadilan walaupun minoritas seperti komunitas Yahudi dan Nasrani, serta sistem kenegaraannya dilaksanakan  dengan cara demokratis, egaliterianism. Karena sistem yang adil dan memberikan kesejahteraan serta kenyamanan bagi masyarakatnya. Cak Nur menyebut Madinah sebagai Profeto Polis/Kota Nabi sebgai awal dari peradaban berdasarkan nilai-nilai Illahiah. Hal tersebut dilakukan karena Muhammad Saw mencontohkan sendiri dan menjadi pelaksana dalam melakukan transformasi sosial demi tercapainya cita-cita tersebut.
Ketahuilah bahwa Allah telah memililih beberapa manusia sebagai seorang yang memberi kabar kepada manusia yang lain. Allah memuliakan mereka dengan mendapatkan firman-Nya dan mereka mampu untuk mengetahui-Nya. Mereka merupakan media penghubung Allah dengan hamba-Nya, mereka merupakan hamba Allah yang terbaik dan menggerakan hatinya untuk mencari pentujuk sendiri tentang kebenaran dan mereka menyelamatkan manusia yang lain dari kesesatan serta memberikan petunjuk pada keselamatan. (Ibnu Khaldun,2000).
Pengungkapan surga yang terjadi pada nabi adam adalah suatu yang sederhana. Hal tersebut, dikatakan oleh Muhammad Iqbal sebagai berikit: bahwa jannah dalam al Qur’an merupakan suatu gagasan suatu keadaan primitive dimana manusia praktis tidak ada hubungannya dengan ligkungan dan sebagai akibat dari tiada merasakan desakan dari kebutuhan manusia yang kelahirannya merupakan suatu tanda-tanda dari kebudayaan umat manusia. (Muhammad Iqbal,  1978). Hal ini juga dijelaskan dalam surat at Thoha; “Tidak kan lapar padanya dan tidak akan telanjang … dan tidak akan dahaga dan tidak akan merasakan panas”. (QS. Thoha;118-119)
Proses kejatuhan Adam tidak ada hubungannya dengan munculnya manusia pertama kali di bumi, tetapi tujuannya adalah untuk menunjukan kebangunan manusia dari kedudukan nafsu instingtifnya yang sederhana kepada pilihan sadari dari sesuatu diri yang bebas yang sanggup bercuriga dan melawan. Kejatuhan tersebut bukanlah kehilangan moral tetapi merupakan peralihan kesadaran yang sederhana menuju cahaya pertama dari kesadaran diri, seperti sadar dari mimpi dan sadar tentang sebab musabab mengenai dirinya sendiri. Bahkan dalam al Qur’an digambarkan bumi bukanlah sebaai ruang siksa yang pada dasarnya manusia adalah buruk dipenjarakan karena dosa asal. Sikap tidak patuh yang pertama merupakan untuk memilih secara merdeka, oleh karena itu pelanggaran pertama dalam tersebut dimaafkan. Kebaikan bukanlah soal paksaan tetapi penyerahan secara bebas dari diri untuk sebaik-baiknya moral dan timbul dari kerjasama yang rela dari diri yang merdeka.  Kemerdekaan merupakan syarat kebaikan. Kemerdekaan untuk memilih yang baik mengandung juga kemerdekaan untuk memilih yang tidak baik. Tuhan telah mengambil resiko dengan menunjukan kepercayaan kepada manusia dan sekarang bagi kita adala menjaga kepercayaan tersebut. (Muhammad Iqbal,  1978).  Hal ini, juga dijelaskan dalam surat at Tin tentang kedudukan mulia dan kejatuhan drajat manusia ke yang hina yakni kecuali orang yang beriman dan melakukan amal kebaikan.
Pengungkapan manusia yang paripurna yakni Adam ada termaktub dalam Al Qur’an yang layak sebagai pemimpin umat. Adam mengatur keperluan hidup umatnya pada pokok dasarnya yakni keperluan air, sandang, papan. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan manusia sepanjang masa. Jika kebutuhan itu terpenuhi secara adil maka yang akan terjadia adalah kentenraman dan hidup yang lebih damai. (H.A. Sholeh Dimyati, 1995). Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Manusia ditetapkan sebagai kholifah yang berarti sebagai pengganti generasi sebelumnya atapun seornang nabi dan penerus misi sebelumnya. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi.
Islam memandang manusia sebagai kholifah Tuhan di bumi dan sebagai proyeksi dimensi vertical kedalam tataran horizontal. Hal tersebut dikarenakan manusia yang memiliki akal mengetagui realitas dia sendiri dan menjadi salah satu manifestasinya. Ia dapat bangkit melalmpaui egonya yang bersifat duniawi dan kontigen. Kemampuannya yang berbicara tersebut dia dapat berdialog dengan Tuhan sebagai teman bicaranya. Manusia merupakan cerminan yang di dalamnya terpantul nama dan sifat-sifat Allah yang dihadapan-Nya berdiri tegak dan untuk selama-lamanya. (H.A. Sholeh Dimyati, 1995).
Dengan potensi akal yang dimiliki maka manusia memiliki kedudukan yang mulia di mata Allah atapun mahluk yang lain. dikarenakan dalam akal tersebut mengandung berbagai macam sumber sangat diperlukan oleh semua mahluk baik manusia atapun mahluk yang lain. Hal ini dikarenakan manusia dengan akalnya merupakan mahluk yang mensejarah untuk menciptakan sejarah, mahluk yang berkebudayaan dan berbudaya dalam menciptakan peradaban serta manusia merupakan sebagai khalifah Allah dimuka bumi yang memiliki tugas mencipta serta menjaga ketentraman dibumi.
Daftar Bacaan
Ahmad Syafi’i Maarif, 2004, Mencari Autentisitas dalam Kegaulauan, Jakarta: Pusata Studi Agama dan Peradaban
Al Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama
Charles Le Gai Eaton, 2006, Manusia, dalam Sayyed Hussein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam,Bandung: Mizan Utama
Dani Vardiansyah,  2008,  Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,  Jakarta;  Indeks.
Denis Collin, 2002, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Francisco Moreno Jose, 1994,  Agama dan Akal Fikiran. Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi,  Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.
H.A. Sholeh Dimyati, 1995, Tinjauan Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan tantang Manusia, Jakarta: Media Tama
Ibnu Khaldun,2000, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus
Jalaluddin Rahmat, 2003, Psikologi Agama; Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Akal wikipedia.com
Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antroplogi,  Jakarta: Reneka Cipta
M. Dawam Raharjo, 1998, Ensiklopedi Al Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina
Muhammad Chirzin, 2008,  Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008, dalam Majalah Suara Muhammadiyah
Musa Asy’ari, 1999, Filsafat Islam,  Yogyakarta: Lembaga Studi Agama Filsafat
Ruhulllah Syams, Akal Wahyu dan Jalan Mengenal Tuhan, dalam www.al-shia.or

Pengantar Ushul Fiqh

Definisi Ushul Fiqh
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya
Al-Ushul
Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi, asas, atau akar).
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, ashluha (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim: 24)
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan:
أصل هذا الحكم من الكتاب آية كذا
(Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an).
Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum, sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.
Al-Fiqh
الفقه في اللغة: العلم بالشيء والفهم له
Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.
Menurut istilah para ulama:
الفقه: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
(ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
الحكم: إسناد أمر إلى آخر إيجابا أو سلبا
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian sesuatu dari yang lain. Misalnya: kita telah menghukumi dunia bila kita mengatakan dunia ini fana, atau dunia ini tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya.
Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat), apakah perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, atau mubah. Atau apakah perbuatannya itu sah, atau batal.
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.
Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh hukum-hukum syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih (ahli fiqh), cukup baginya mengetahui sebagiannya saja asal ia memiliki kemampuan istinbath, yaitu kemampuan mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.
Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278).
Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara pada pokok masalah yang bersifat praktis.
Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu
Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab Syafi’i dengan:
معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta apa syarat-syarat seorang mujtahid).
Penjelasan Definisi
Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih rinci, mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya, dan seterusnya.
Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mendefinisikan ushul fiqh dengan:
العلم بالقواعد الكلية التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام الشرعية من أدلتها التفصيلية
(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
Kaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap bagian yang ada di bawahnya.
Contoh kaidah umum:
الأصل في الأمر للوجوب
(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain yang menjelaskan maksud lain dari kalimat perintah tersebut. Misalnya perintah Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 43:
((وآتوا الزكاة))
(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap perintah pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan tidak ada ayat lain ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang zakat harta. Dalam contoh ini ayat tersebut adalah dalil rinci, sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil yang bersifat global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil rinci lain yang sejenis.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad yang benar sesuai batasan-batasan syariat.
Cakupan Ushul Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
  1. Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
  2. Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.
  3. Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain.
  4. Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana solusinya.
  5. Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
Tujuan Ushul Fiqh
غاية أو ثمرة علم الأصول: الوصول إلى معرفة الأحكام الشرعية بالاستنباط
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah (tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara langsung.
Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di antaranya:
  1. Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath.
  2. Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.
  3. Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama.
  4. Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar.
Sandaran Ushul Fiqh
1. Aqidah/Tauhid, karena keyakinan terhadap kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah serta kedudukannya sebagai sumber hukum/dalil syar’i bersumber dari pengenalan dan keyakinan terhadap Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan terhadap kebenaran Muhammad Rasulullah saw, dan semua itu dibahas dalam ilmu tauhid.
2. Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab, maka untuk memahami maksud setiap kata atau kalimat di dalam Al-Quran dan Sunnah mutlak diperlukan pemahaman Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama mengatakan bahwa:
الأمر يقتضي الفور
(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena para ahli bahasa mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada pelayannya: “Ambilkan saya air minum!” lalu pelayan itu menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela.
3. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul:
الأصل في الأمر للوجوب
(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya adalah:
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur: 63)
4. Akal, misalnya kaidah ushul:
إذا اختلف مجتهدان في حكم فأحدهما مخطئ
(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi suatu masalah, maka salah satunya pasti salah) dalilnya adalah logika, karena akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang bertentangan adalah sebuah kemustahilan.
Hukum Mempelajari Ushul Fiqh
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib baginya untuk bertanya:
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab tidak boleh memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu a’lam.”
Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/01/37/pengantar-ushul-fiqh/#ixzz1na3fdwFF