Mengenai Saya

Foto saya
Hidup ini indah, maka hiasilah kehidupan ini dengan keindahan

Minggu, 01 Mei 2011

Dakwah


POKOK-POKOK KONSEP DAKWAH MUTHAHHARI
Disalin dari ://harjasaputra.wordpress.com

Dalam beberapa karyanya, meskipun dibahas secara terpisah-pisah, Muthahhari telah membahas mengenai permasalahan dakwah. Pemikirannya mengenai dakwah sedikitnya dapat dilihat di dalam beberapa karya beliau di bawah ini:
Pertama, dalam kitab Khatm Nubuwwah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul yang sama dengan judul aslinya, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The End of Prophethood, dan telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Akhir Kenabian (1988). Dalam subbab “Kenabian Dakwah”, Muthahhari telah membahas mengenai urgensi dakwah dan karakteristik dakwah Rasulullah.
Kedua, dalam kitab Payambar Ummy, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Al-Nabîy al-Ummiy, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Unschooled Prophet (1991), dan telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Akhlak Suci Nabi yang Ummi. Pada subbab “Menyeru kepada Kebenaran” dan “Prinsip-prinsip Berdakwah”, Muthahhari telah membahas secara luas mengenai metode-metode dakwah dan prinsip-prinsip utama dalam berdakwah.
Ketiga, dalam kitab Dah Guftor, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan. Pada subbab “Amar Makruf dan Nahi Munkar” dan “Retorika dan Mimbar”, Muthahhari juga telah menguraikan secara rinci mengenai permasalahan amar makruf dan nahi munkar sebagai perwujudan dari dakwah Islam dan faktor-faktor yang mendukung amar makruf nahi munkar tersebut.
Ketiga karya Muthahhari tersebut akan dijadikan buku primer sebagai rujukan utama oleh penulis dalam menganalisis pemikiran Muthahhari dalam bidang dakwah. Di bawah ini adalah ulasan mengenai pokok-pokok pikiran Muthhahari mengenai dakwah yang penulis dapat sarikan dari ketiga buku di atas.
A. Dakwah: Misi Utama Para Nabi dan Manusia
Menurut Muthahhari, para nabi secara keseluruhan melaksanakan dua misi: (1) menyampaikan hukum-hukum dan perintah Tuhan kepada manusia dan (2) mengajak umat manusia kepada Tuhan serta mendakwahkan perintah-perintah Ilahi yang sudah diwahyukan. Mayoritas para nabi diberi tugas kenabian untuk melaksanakan misi dakwah ini.
Dari misi utama para nabi tersebut, selanjutnya Muthahhari membagi bentuk kenabian ke dalam dua macam: (1) kenabian hukum Ilahi, dan (2) kenabian dakwah Ilahi. Muthahari menjelaskan, bahwa nabi-nabi yang tergolong dalam “kenabian hukum Ilahi” jumlahnya sedikit, yang dikenal dalam istilah disiplin ilmu keislaman sebagai ulul azmi, bertugas membawa hukum-hukum dan agama. Sedangkan nabi-nabi yang lainnya termasuk ke dalam golongan “kenabian dakwah Ilahi”, tugas mereka semata-mata berdakwah, menganjurkan dan mengajak manusia kepada ajaran-ajaran para nabi dari golongan “kenabian hukum Ilahi” sebelum mereka.
Muthahhari lalu menyebutkan bahwa Islam telah mengakhiri kenabian hukum Ilahi, demikian pula kenabian dakwah. Ia lalu mengajukan beberapa pertanyaan sebagai jalan untuk memasuki inti dari pemikirannya: Mengapa umat Islam tidak lagi mendapatkan pertolongan dan petunjuk para nabi dakwah? Kita boleh puas bahwa Islam, karena kelengkapan, kesempurnaan, keutuhan, kecukupan, kesempurnaan, dan kedalamannya telah mengakhiri kenabian hukum Ilahi. Tetapi, mengapa ia juga telah mengakhiri kenabian dakwah? Bagaimana hal itu dapat dibenarkan?
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, Muthahhari lalu menjelaskan secara gamblang mengenai inti pemikirannya tentang alasan berakhirnya kenabian hukum Ilahi dan kenabian dakwah Ilahi. Menurutnya, bahwa tugas utama kenabian wahyu Ilahi adalah untuk membawa hukum-hukum dan ajaran-ajaran Tuhan; sedangkan untuk menganjurkan dan menyiarkan hukum-hukum ini dan mengajak manusia agar berbuat menurut ajaran dan hukum-hukum itu adalah setengah tugas kemanusiaan dan setengah tugas Ilahi. Dalam posisi itulah sebetulnya tugas dari para nabi yang tergolong dari kenabian dakwah Ilahi. Para nabi tersebut bertugas sebagai da’i untuk mengajarkan hukum-hukum Tuhan yang telah dibawa oleh para nabi kenabian wahyu Ilahi.
Pertanyaan mendasarnya adalah: faktor apa yang menyebabkan kenabian dakwah ikut juga berakhir seiring dengan berakhirnya kenabian wahyu Ilahi? Apakah manusia dapat menggantikan posisi kenabian dakwah tersebut? Muthahhari lalu mengemukakan pokok pemikirannya, bahwa bangkitnya penalaran akal dan ilmu pengetahuan, pertumbuhan dan matangnya kemanusiaan, dengan sendirinya mengakhiri kenabian dakwah. Manusia yang berpengetahuan agama dan mengetahui ilmu hukum agama, mengambil alih tugas para nabi itu.
Untuk menguatkan pendapatnya, Muthahhari lalu menjelaskan pijakan-pijakan utama yang mendasari pemikirannya tersebut. Menurutnya, bahwa dalam ayat al-Qur’an yang pertama diwahyukan, Tuhan berfirman tentang membaca, menulis, pena, dan pengetahuan:

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-’Alaq: 1-5)
Ayat-ayat di atas memaklumkan bahwa zaman al-Qur’an diturunkan adalah zaman membaca, menulis, mengajar, pengetahuan, dan penalaran akal. Itu mencakup makna bahwa di zaman al-Qur’an, tanggung jawab pendidikan, dakwah dan pemeliharaan ayat-ayat Ilahi telah dialihkan kepada kalangan terpelajar (ulama) yang dalam hal ini menggantikan tugas para nabi.
Ayat-ayat di atas juga memaklumkan kematangan dan kemandirian manusia. Al-Qur’an dalam semua ayat-ayatnya, mengajak manusia untuk berpikir, menggunakan akal, mengamati alam secara obyektif dan empiris, menelaah sejarah, mendalami pengetahuan dan memahami secara mendalam. Ini semua adalah tanda-tanda akhir kenabian dan penggantian kenabian dakwah dengan penalaran akal dan pengetahuan. Muncul dan datangnya ilmu pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh manusia untuk melindungi, mengajak manusia dan menyiarkan agamanya inilah yang membawa kepada suatu akhir kenabian dakwah. Inilah alasannya mengapa Nabi Muhammad Saw menganggap para ulama Islam sama atau bahkan lebih tinggi daripada para nabi Bani Israel.
Di akhir pembahasannya mengenai kenabian dakwah, Muthahhari mengutip perkataan Muhammad Iqbal yang mendukung maksud dari inti pemikirannya:
“…nabi Islam tampak berdiri di antara zaman kuno dan zaman modern. Sejauh yang menyangkut sumber wahyunya, ia milik dunia kuno. Sejauh yang menyangkut ruh wahyunya ia milik dunia modern. Di dalam dirinya kehidupan menemukan sumber-sumber pengetahuan yang lain yang sesuai dengan arahnya yang baru. Lahir dan bangkitnya Islam adalah lahirnya intelek penalaran induktif. Dengan datangnya Islam, kenabian mencapai kesempurnaannya, sebagai hasil penemuan akan perlunya keberakhirannya sendiri. Ini meliputi pemahaman yang tajam bahwa kehidupan tidak dapat selama-lamanya dalam fase kanak-kanak ketika seseorang membutuhkan bimbingan yang terus menerus dari orang lain. Penghapusan kependetaan dan kerajaan turun menurun dalam Islam, seruan yang menerus kepada kebijaksanaan, akal dan pengetahuan al-Qur’an, dan penekanan bahwa kitab wawasan ini terletak pada Alam dan Sejarah sebagai sumber-sumber pengetahuan manusia, semuanya merupakan aspek-aspek yang berlainan dari gagasan yang sama mengenai kesimpulan Risalah (Kerasulan) tentang akhir kenabian. Oleh karena itu, tidak seharusnya dipandang sebagai nasihat bahwa nasib akhir kehidupan ialah penggantian emosi sepenuhnya oleh akal.”
Dengan demikian, dari pandangan Muthahhari di atas dapat diambil satu benang merah, bahwa kewajiban untuk menyebarkan dan mengajarkan wahyu Ilahi bukan hanya menjadi tanggung jawab para nabi, melainkan juga tanggung jawab manusia yang memiliki nilai-nilai kenabian, yaitu yang memiliki pengetahuan terhadap ilmu-ilmu Allah. Di sinilah letak urgensi dakwah dalam sistem ajaran Islam.
B. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Manifestasi Dakwah
Pokok pemikiran dakwah Muthahhari dapat ditelusuri pula dari pendapatnya mengenai prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sebagaimana halnya para ulama lain, Muthahhari pun menekankan pentingnya dakwah dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar. Menurutnya, amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu pokok amali Islam. Karena merupakan pokok, maka amar ma’ruf nahimunkar secara gamblang ditekankan di dalam al-Qur’an. Berikut ini adalah ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar:

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran [3]: 104).
Selanjutnya, dengan mengutip pendapat para ulama, Muthahhari secara sistematis membahas hal-hal yang terkait dengan amar ma’ruf nahi munkar. Pertama-tama, Muthahhari menyebutkan mengenai banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar; begitu juga hadits-hadits Nabi Saw dan para imam yang suci yang berbicara mengenai masalah ini, yang jumlahnya sangat banyak sekali, sehingga menurut seloroh Syahid ats-Tsani dapat mematahkan pinggang seseorang.
Berikutnya Muthahhari membahas mengenai apa saja syarat wajibnya amar ma’ruf nahi munkar. Menurut Muthahhari, dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar terdapat empat syarat: Pertama, ilmu dan pengetahuan. Kedua, kemungkinan mendatangkan pengaruh atau hasil. Ketiga, tidak adanya bahaya, atau menurut ungkapan sebagian fukaha, tidak mengakibatkan timbulnya mafsadat. Keempat, pelaku terus melakukan perbuatannya. Maksudnya, orang yang meninggalkan perbuatan yang ma’ruf atau mengerjakan yang munkar, tidak berpaling dan tidak menyesal dari apa yang dilakukannya.
Setelah membahas mengenai syarat-syarat amar ma’ruf nahi munkar, Muthahhari lalu membahas mengenai tingkatan-tingkatan amar ma’ruf nahi munkar, yang secara umum di dalam hadits-hadits disebutkan mempunyai tiga tingkatan, yaitu tingkatan hati, tingkatan lisan, dan tingkatan tangan—yang oleh Muthahhari ditafsirkan dengan menggunakan kekuasaan/hukum).
Pada tingkatan pertama Muslimin wajib merasa benci di dalam hatinya terhadap perbuatan-perbuatan melanggar hukum Allah, meninggalkan kewajiban Ilahi, serta melakukan larangan-larangan-Nya. Dan paling sedikitnya kebencian hati ini harus ditampakkan dengan tindakan negatif, yaitu menghindari pergaulan dengan orang tersebut. Demikian juga, ia harus menampakkan penyesalan atas apa yang mereka lakukan melalui raut muka. Pada tingkatan dengan lisan pun, pertama-tama harus melalui cara nasihat dan bahasa yang lembut; dan jika hal itu belum memberi manfaat, maka baru menggunakan kata-kata yang keras. Begitu juga pada tingkatan dengan tangan. Pada tingkatan ini diperlukan tindakan kekerasan untuk melenyapkan kejahatan dan keburukan, dan hal ini membutuhkan keterlibatan dari penguasa/aparat hukum. Karena, menurut Muthahhari, jika seluruh masyarakat umum diberikan wewenang untuk melakukan hal ini, maka akan timbul kekacauan di tengah-tengah masyarakat.
Setelah membahas mengenai tingkatan-tingkatan amar ma’ruf nahi munkar, Muthahhari lalu membahas mengenai pentingnya pembentukan lembaga pengawasan (ihtisab). Lembaga pengawasan ini berfungsi untuk menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat secara terorganisasi dan memiliki sistem dan target yang jelas. Orang-orang yang duduk dalam lembaga ini (muhtasibin), terutama orang yang berada di pucuk pimpinan lembaga ini haruslah seorang yang yang berilmu, bertaqwa, wara’, amanah, dan mempunyai kedudukan agama yang terhormat di tengah-tengah masyarakat. Mereka bertugas untuk memperhatikan dan mengawasi setiap pelanggaran masyarakat yang kemudian melakukan tindakan preventif dan kuratif untuk kemaslahatan umum.
Seperti diungkapkan Muthahhari, lembaga pengawasan (ihtisab) ini sangat penting untuk ada dalam sebuah masyarakat. Ia memiliki tugas yang lebih luas daripada cakupan tugas lembaga kepolisian yang ada dalam sebuah negara sekuler. Sebab cakupan lembaga pengawasan yang bertugas menjalankan amar ma’ruf nahi munkar lebih luas dari cakupan lembaga kepolisian yang hanya mengurus masalah kriminal dan pidana.
Namun, seperti disesalkan oleh Muthahhari, bahwa pemikiran umat Islam untuk membentuk sebuah lembaga pengawasan tersebut kini seakan-akan telah hilang dalam benak Muslimin. Sesuatu yang dahulu dianggap sebagai bagian dari tugas amar ma’ruf nahi munkar, dan atas nama amar ma’ruf nahi munkar mereka memperbaiki urusan masyarakat, sekarang sudah tidak dihitung lagi sebagai bagian. Dan kalaupun kadang-kadang seseorang menaruh perhatian kepada masalah amar ma’ruf nahi munkar, mereka tidak berpikir bahwa hal itu merupakan bagian dari kewajiban agama. Dengan sendirinya amar ma’ruf nahi munkar kini telah kehilangan artinya yang luas, dan pengertiannya kini telah dibatasi hanya yang terkait pada serangkaian masalah-masalah ibadah.
Dikarenakan pengertian amar ma’ruf nahi munkar yang terdapat di dalam pandangan masyarakat sudah dibatasi, dan masyarakat sudah tidak menganggap masalah perbaikan urusan-urusan kehidupan sosial sebagai bagian dari amar makruf dan nahi munkar, maka hasilnya adalah jika sebuah lembaga pemerintah hendak melakukan satu tindakan yang bersifat sosial, misalnya kebersihan lingkungan, pencegahan praktek penipuan penjualan, atau penertiban peraturan lalu lintas, masyarakat tidak merasa bahwa tindakan-tindakan ini mempunyai dasar dan warna agama. Karena, mereka tidak merasa bahwa hal ini merupakan satu kewajiban agama.
Masalah lain yang disoroti oleh Muthahhari dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar adalah bahwa kegiatan ini mesti didukung dengan sebuah upaya untuk mengorganisasikan seluruh tindakan individu menjadi sebuah aksi yang tersusun dengan rapi dan terprogram. Seperti dikemukakan Muthahhari, pada masa kini aksi amar ma’ruf nahi munkar yang bersifat individual tidak begitu bermanfaat. Tidak ada sesuatu yang dapat dibangun dari perbuatan yang bersifat individu, dari pikiran individu, dan dari keputusan individu. Harus ada kerja sama di antara seluruh individu yang bergerak dalam aksi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Di akhir pembahasannya mengenai amar ma’ruf nahi munkar, Muthahhari membahas mengenai pentingnya penggunaan logika dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar. Seperti disebutkan oleh Muthahhari, bahwa Muslimin jarang mengikutsertakan logika di dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Padahal, setiap perbuatan memiliki logika tersendiri yang menjadi kuncinya. Mereka lebih yakin bahwa yang memberikan pengaruh adalah lidah, bukan amal perbuatan. Dan dalam amal perbuatan pun perhatian Muslimin hanya tertuju kepada amal perbuatan yang bersifat individual, bukan amal perbuatan yang disusun secara sistematis dan terorganisasi.
Muthahhari lalu menjelaskan, bahwasanya pengikutsertaan logika dalam amar ma’ruf nahi munkar maksudnya adalah kemestian untuk berpikir tentang cara yang dapat mendorong masyarakat kepada satu perbuatan yang terpuji atau yang dapat mencegah mereka dari suatu perbuatan yang tercela. Muthahhari memberikan contoh dari sebuah peristiwa berikut ini yang beliau kutip dari sebuah makalah yang berjudul “Nasihat Keledai”:
“Beberapa tahun yang lalu di salah satu kota kecil di negara bagian Philadelphia, para wanita kecanduan permainan judi. Pertama-tama, para pendeta, para wartawan, para penceramah, dan para pemberi nasihat, berbicara dan menulis tentang keburukan permainan judi, khususnya bagi wanita. Akan tetapi ucapan dan tulisan mereka ini tidak ubahnya seperti kacang yang menghantam menara besar dan lalu jatuh. Sampai akhirnya wali kota mempunyai ide untuk membuka satu atau dua tempat pameran seni wanita, dan juga menampilkan kegiatan-kegiatan yang sesuai di sana, seperti perlombaan balita sehat, dan kemudian memberikan hadiah kepada ibu dari balita pemenang, pameran kerajinan tangan, dan yang lainnya. Setiap acara yang ditampilkan memiliki kekhususan tersendiri sehingga menarik minat masyarakat. Kegiatan itu terus dilakukan secara rutin. Sehingga dua atau tiga tahun setelah kegiatan-keiatan itu dilaksanakan, para wanita kota itu sudah melupakan perjudian sama sekali.”
Inilah yang dimaksud dengan memasukkan unsur logika dan pengaturan secara terprogram di dalam memerangi kemungkaran. Kemungkaran tidak cukup diberantas dengan “lidah”, melainkan harus dengan tindakan yang justeru bukan merupakan kekerasan melainkan sebuah tindakan kreatif yang dirancang untuk membasmi kemungkaran dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat menyenangkan. Di sinilah fungsinya logika berperan di dalam merumuskan ide-ide kreatif untuk merancang aksi-aksi yang jenius yang bertujuan bukan untuk menakuti-nakuti pelaku kejahatan melainkan untuk membuat mereka tidak melakukannya lagi melalui kegiatan-kegiatan yang menarik minat mereka.
Dari penjelasan Muthahhari mengenai amar ma’ruf nahi munkar di atas, kita mampu mencerna bahwa Muthahhari telah menyadarkan kesadaran kita untuk berdakwah dengan cakupan yang lebih luas. Bukan saja melakukan ceramah-ceramah yang bersifat “dakwah lisan”, melainkan juga harus menjangkau sendi-sendi kehidupan masyarakat yang lebih luas secara nyata, yaitu melalui pendirian sebuah lembaga khusus yang bertugas melakukan tugas amar ma’ruf nahi munkar yang mencakup seluruh sendiri kehidupan manusia yang lebih luas. Lembaga ini, kalau dahulu disebut dengan lembaga pengawasan (ihtisab), mungkin saat ini disebut dengan sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) atau lembaga pemerintahan yang bertugas mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakat. Lembaga inilah yang akan mengawasi seluruh penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat yang kemudian melakukan tindakan pencegahan (preventif) dan pemberantasan (kuratif) yang bersifat gradual dan berkeadilan yang sesuai dengan tujuan syariah Islam, yaitu untuk menciptakan kemashalahan umat.
Di samping itu, satu benang merah yang mesti diteladani oleh setiap aktivis dakwah dari pemikiran Muthahhari di atas, adalah mesti adanya satu usaha untuk mengorganisasikan dakwah menjadi satu aksi yang memiliki rencana, tujuan dan target yang jelas. Ide-ide kreatif dalam menggagas aksi dakwah yang lebih mendatangkan hasil dalam melakukan akitivitas dakwah harus menjadi perhatian pula. Sebab tidak jarang kemungkaran atau kejahatan tidak bisa diberantas melalui ceramah-ceramah yang terkesan menggurui apalagi melalui tindakan-tindakan kekerasan.
C. Prinsip-prinsip Berdakwah menurut Muthahhari
Secara khusus, Muthahhari telah membahas mengenai prinsip-prinsip berdakwah ini yang dapat dirinci ke dalam beberapa poin sebagai berikut.
Pertama, seorang da’i harus mempunyai rasa takut kepada Allah Swt. Hal ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an:

Artinya: “Dan dari golongan manusia dan hewan melata serta binatang ternak yang bermacam-macam jenisnya, sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. Sesunguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Pengampun” (QS. Fâthir: 28).
Seorang da’i sudah seharusnya takut kepada Allah sehingga rasa takut dan kebesaran Allah senantiasa melingkupi hatinya, hingga dapat menguasai dan mencegah bilamana bermaksud melakukan suatu kebathilan.
Kedua, seorang da’i hendaknya tidak takut kepada siapa pun juga kecuali kepada Allah. Muthahhari menjelaskan, bahwa ada perbedaan antara rasa takut kepada Allah dengan ketakutan kepada hal-hal lain. Ketakutan berkaitan dengan masa depan dan tujuan seseorang. Sedangkan rasa takut kepada Allah adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak berani untuk melakukan kesalahan. Kitab suci al-Qur’an mengatakan bahwa para da’i yang mendakwahkan perintah-perintah Allah sangat takut kepada-Nya sehingga mereka tidak berani melakukan kesalahan atau menunjukkan sedikit pun saja tanda-tanda ketidakpatuhan kepada Allah Swt. Di sisi lain, ketika mereka berhadapan dengan siapa pun selain Allah, mereka berani dan tidak takut sedikit pun.
Ketiga, seorang da’i harus memiliki sikap keteguhan hati. Hal ini terkait dengan keteladanan yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. Muthahhari dengan mengutip salah seorang penulis Barat mengenai kepribadian Nabi Saw. Di antara keteladanan yang diajarkan Nabi Saw adalah sifat-sifat Nabi, terutama kebijaksanaan dan kearifannya yang bahkan orang-orang non-muslim pun tidak dapat menyangkalnya. Selain itu adalah keteguhan hatinya, sehingga beliau tetap bertindak sesuai dengan keputusan dan kebijaksanaannya di segala kondisi. Banyak kejadian semasa beliau yang terlihat sangat pesimistik, sehingga orang lain sampai kehilangan harapan dan menyerah, namun Rasulullah tetap tegar dan stabil seperti sebuah gunung.
Keempat, di antara tugas dari seorang da’i adalah membangkitkan pikiran dan mengingatkan manusia. Membangkitkan pikiran berarti berpikir tentang sesuatu yang tidak diketahui seseorang dan menemukan sesuatu yang telah diabaikannya. Sedangkan mengingatkan berarti membuat sesuatu yang telah diketahui seseorang timbul kembali. Dengan kata lain, menurut Muthahhari, ada dua keadaan pikiran, yaitu ketidaktahuan dan ketertiduran (lupa). Terkadang seseorang mengabaikan lingkungannya bukan hanya karena ketidaktahuan, tetapi juga karena ia dalam keadaan tertidur atau bermimpi ataupun lupa, dan karena itu ia lalai dan tidak menggunakan pengetahuannya.
Allah mengingatkan Rasul-Nya bahwa beliau tidak hanya berhadapan dengan orang-orang yang bodoh saja namun juga dengan mereka yang lalai. Kemudian Dia memerintahkan beliau untuk tidak membangkitkan pikiran pada orang-orang yang bodoh agar mendapatkan pengetahuan saja, tetapi juga mengingatkan orang-orang yang lalai dan yang berpengetahuan. Dikatakan oleh Muthahhari, bahwa secara umum orang-orang itu lalai, dan hanya sedikit yang bodoh. Allah memerintahkan kepada Rasul untuk mengingatkan mereka yang lalai dan membangkitkan pikiran pada mereka yang bodoh, sehingga ketika mereka sadar, mereka akan dapat mengatasi masalah-masalah mereka sendiri.
Berkenaan dengan hal tersebut, Muthahhari membuat sebuah illustrasi dengan seseorang yang tertidur dan kereta apinya akan segera berangkat. Jika kita membangunkan orang itu, maka ia akan segera mengejar keretanya dan kita tidak perlu mengingatkan tentang kerugian dari tidurnya itu. Rasulullah juga datang untuk membangunkan perasaan seperti itu. Keimanan adalah ibarat perasaan yang terpendam dan telah ada benihnya dalam diri setiap manusia. Tugas Nabi begitu juga seorang da’i adalah untuk menggugah perasaan terpendam tersebut agar mereka sadar akan hakikat yang sebenarnya.
Itulah keempat prinsip-prinsip berdakwah yang dikemukakan oleh Muthahhari. Kita dapat melihat bahwa gagasan Muthahhari mengenai prinsip-prinsip dakwah di atas sangat jelas dan menyentuh inti pembentukan kualitas diri da’i yang akan menunaikan tugas suci sebagai pengganti tugas para nabi.
D. Metode Dakwah menurut Muthahhari
Lebih jauh, berikut ini akan disajikan mengenai metode dakwah menurut pandangan Muthahhari.
Pertama, dakwah tidak diperbolehkan melalui usaha-usaha yang menipu dan cara-cara yang keliru. Seperti dikemukakan oleh Muthahhari, bahwa Islam sama sekali tidak dapat berdamai dengan kesalahan, dan Islam dengan alasan apapun tidak membolehkan untuk menggunakan jalan kebohongan untuk mencapai kebenaran.
Dengan mengutip pandangan dari Haji Mirza Husain Nuri, guru dari Almarhum Haji Syaikh ‘Abbas Qumi, Muthahhari menyebutkan dua kesalahan yang sering dilupakan oleh para da’i:
  1. Mereka tidak berkata benar, dengan mengatakan jika mereka menyebutkan sebuah hadits lemah yang kemudian terbukti palsu, maka hal itu dianggap tidak akan menjadi masalah karena tujuan mereka lebih penting.
  2. Mereka yakin bahwa tujuan mereka adalah untuk mendorong orang untuk menangisi Imam Husain; dan karenanya dianggap sebagai tujuan yang luhur.
Mengenai poin pertama, Muthahhari mengatakan bahwa Islam secara tegas melarang penggunaan kebohongan di bawah kondisi apa pun, sekalipun untuk menyiarkan agama.
Sehubungan dengan poin kedua, Muthahhari pun mengajukan kritik khususnya terhadap para da’i syi’i yang lebih menekankan untuk menangisi Imam Husain meskipun dengan cara-cara yang salah. Berkenaan dengan hal tersebut, Muthahhari mengutip contoh yang dibawakan oleh Haji Mirza Husain Nuri. Yakni kisah tentang sarjana dari kelompok Yazdi yang sedang dalam perjalanan melewati padang pasir untuk mengunjungi tempat suci Imam Ridha As di Masyhad. Karena perjalanan ini terjadi di bulan Muharram dan malam Asyura, ia sangat kecewa karena takut tidak sampai ke Masyhad agar ia dapat menghadiri upacara perkabungan untuk Imam Husain As. Karena tidak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk tinggal di sebuah desa dan menghadiri upacara berkabung di sana.
Seorang khatib naik ke mimbar dan orang-orang yang hadir di masjid membekalinya dengan sekantung batu. Sang khatib kaget ketika tak seorang pun yang menangis selama khutbah. Lalu si khatib mematikan lampu dan mulai melemparkan batu-batu itu kepada orang-orang yang hadir. Orang-orang mulai menangis dan berteriak. Setelah upacara selesai, cendekiawan Yazdi bertanya kepada khatib, mengapa ia melakukan kejahatan seperti itu. Ia menjawab, “Ini adalah satu-satunya cara untuk membuat orang-orang itu menangisi Imam Husain As, dan saya harus menggunakan cara apa pun yang mungkin untuk dapat membuat mereka menangis”. Cendekiawan itu mengatakan bahwa sang khatib tersebut salah dan mengatakan bahwa kesyahidan Imam Husain memiliki cerita yang cukup menyedihkan hati untuk membuat orang-orang itu mencucurkan air mata, jika memang mereka benar-benar cinta dan pengikut setia Imam Husain. Tetapi jika orang-orang itu tidak mengetahui siapa Imam Husain, mereka tidak akan menangis bahkan untuk ratusan tahun mendatang.
Dari kisah yang dikutip Muthahhari di atas, beliau sesungguhnya hendak mengatakan bahwa tujuan utama para da’i adalah bukan membuat orang-orang untuk menangisi Imam Husain, melainkan memberikan pengajaran mengenai kepribadian dan keteladanan dari Imam Husain. Setelah mereka mengenalnya, maka dengan sendirinya mereka tidak usah dipaksa untuk menangisi Imam Husain karena mereka akan menyelaminya sendiri berdasarkan pengajaran-pengajaran yang telah diberikan.
Kedua, berdakwah harus dimaksudkan untuk “melapangkan dada seseorang”, yaitu meningkatkan kapasitas iman dalam hatinya. Terkadang penyampaian perintah melalui penjelasan-penjelasan yang nyata tidaklah cukup; seorang da’i harus juga mempengaruhi akal dengan menyampaikan pesan-pesan itu secara benar. Apa yang disampaikan kepada mata dan telinga tidak selalu diterima oleh kesadaran dan pengetahuan. Apa yang mengubah pesan menjadi kesadaran bukanlah suara ataupun bentuk dari simbol-simbol tulisan, namun sesuatu yang disebut dengan nalar dan logika. Pengetahuan tidak menerima selain nalar dan logika. Muthahhari lalu mengutip ayat al-Qur’an surat an-Nahl [16]:125:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.
Artinya: “Serulah manusia menuju jalan Tuhanmu dengan hikmat (pengetahuan), pengajaran yang baik, dan ajaklah mereka berdebat dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang telah sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui siapa saja yang diberikan petunjuk”.
Ayat di atas dikutip oleh Muthahhari untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an pun telah menggariskan metode dakwah yang relevan, yang salah satunya melalui metode hikmat, yaitu pengetahuan yang berbasis kepada nalar dan logika.
Ketiga, dakwah mesti disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami yang dapat meresap ke dalam hati dan jiwa manusia yang paling dalam. Muthahhari menegaskan, bahwa di dalam menyampaikan pesan-pesan Ilahi seorang Nabi sangat berbeda dengan seorang filosof. Seorang filosof, bagaimanapun pun beratnya ia berupaya, hanya dapat mempengaruhi pikiran manusia saja. Dan itu pun hanya untuk kalangan tertentu. Selain itu, dalam menyampaikan gagasannya seorang filosof perlu menggunakan terminologi khusus dengan ratusan frase dan istilah yang sulit untuk dipahami secara sekilas. Sebenarnya mereka melakukan hal demikian karena ketidakmampuan mereka dalam mengungkapkan secara sederhana. Di sisi lain, para nabi tidak memerlukan ungkapan terminologi yang demikian. Mereka mengungkapkan seluruh gagasannya dalam kata-kata yang sangat jelas dan mudah dipahami. Apa yang telah dikatakan dalam fraseologi filosofis yang membingungkan mengenai masalah Keesaan Tuhan, diungkapkan oleh para Rasul dalam dua kalimat sederhana, mudah dipahami, dan meresap ke dalam hati siapa saja yang mendengarnya.

Artinya: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah Maha Utuh. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia” (QS. Al-Ikhlas [114]:1-4).
Pada ayat di atas, prinsip filosofis mengenai keesaan Allah diungkapkan dalam kata-kata yang sederhana dan sangat mudah dipahami.
Selanjutnya Muthahhari menekankan, bahwa hanya seorang da’i yang pesan-pesannya disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang benar dan kuat, namun sederhana dan memberi penerangan yang akan berhasil dalam menyeru manusia kepada Allah. Khutbah Imam Ali, misalnya, yang amat fasih, masih dapat dimengerti oleh orang awam dan orang yang hadir dapat menarik manfaat dari khutbah-khutbah ini berdasarkan tingkat pemahaman mereka masing-masing.
Keempat, dakwah harus mengandung kabar gembira dan peringatan. Hal ini terkait dengan karakteristik utama kenabian sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, sebagaimana yang termaktub dalam ayat al-Qur’an di bawah ini.

Artinya: “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah (QS. Al-Ahzâb [33]:45-47).
Muthahhari menjelaskan bahwa membawa berita gembira adalah sesuatu yang membesarkan hati. Ketika seseorang hendak mengajak anak-anaknya untuk mengerjakan sesuatu, ada dua cara untuk melakukannya, apakah dengan memakai kabar gembira atau dengan memberikan peringatan, atau keduanya pada waktu yang bersamaan, sama-sama akan membawa keberhasilan.
1. Membesarkan hati dengan berita gembira. Sebagai contoh, jika seseorang ingin mengirim anaknya ke sekolah, ia akan bercerita tentang segala sesuatu yang menarik tentang sekolah dan manfaat yang akan ia peroleh dari sekolah itu. Cerita ini akan membesarkan hati si anak dan mendorong perasaan dan cintanya terhadap sekolah.
2. Memberi peringatan tentang akibat buruk. Seorang anak yang telah diterangkan tentang akibat buruk tidak bersekolah dan tetap buta huruf, akan lebih senang pergi ke sekolah daripada tidak.
Membesarkan hati dan membawa kabar gembira harus selalu diutamakan dan peringatan mengikutinya sebagai pendorong. Kadang-kadang kedua metode tersebut dipergunakan karena keduanya diperlukan dan terkadang berita gembira saja tidak mencukupi. Membawa berita gembira sangat diperlukan, tetapi bukanlah metode yang cukup. Hal ini berlaku pula dalam memberi peringatan. Alasan mengapa al-Qur’an disebut sebagai Sab’u al-Matsani, adalah karena al-Qur’an menggunakan secara selaras antara berita gembira dan peringatan.
Demikian pula dalam berdakwah, seperti disebutkan oleh Muthahhari, dua metode ini seharusnya dipergunakan hingga yang satu menjadi pelengkap bagi yang lainnya. Sangat salah apabila hanya menekankan pada kabar gembira saja dan melupakan peringatan. Keduanya harus dipergunakan, meskipun lebih banyak “kabar gembira” yang diberikan dan lebi sedikit “peringatan”. Karena itulah, dalam kitab suci al-Qur’an kata “membawa kabar gembira” selalu mendahului “memberi peringatan” dalam banyak ayat-ayatnya.
Itulah pembahasan mengenai metode dakwah yang digagas oleh Muthahhari. Metode-metode dakwah yang telah dijelaskan di atas terlihat sangat spektakuler sebagai sebuah metode dakwah yang original, sangat mendasar, dan aplikatif sebagai sebuah metode ideal dalam kegiatan dakwah di masa kini. Ide-ide mengenai dakwah Muthahhari di atas adalah sebuah jawaban dan harapan yang cerah untuk perkembangan ilmu dakwah, dan untuk memajukan masyarakat Islam yang memang sedang membutuhkan pemikiran cemerlang untuk kembali membangun peradaban dunia.
Lihat Murtadha Muthahhari, Akhir Kenabian, terjemahan dari kitab “The End of Prophethood” oleh Rusmanhaji, (Lampung: YAPI, 1988), h.30-36.
Lihat Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi, terjemahan dari kitab “The Unschooled Prophet” oleh D. Sofyan & Agustin, (Bandung: Mizan, 1995), h.149-196.
Lihat Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, terjemahan dari kitab Dah Guftor oleh Ahmad Subandi (Penulis), (Jakarta: Lentera, 1999), h.61-83.
Murtadha Muthahhari, Akhir Kenabian, Op.Cit., h.30.
Murtadha Muthahhari, Akhir Kenabian, Ibid., h.31.
Ibid., h.33.
Ibid., h.35-36.
Muhammad Iqbal yang dikutip Muthahhari, Ibid., h.36.
Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, Op.Cit., h.62.
Ibid., h.63.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.70.
Ibid., h.74.
Ibid., h.83.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.84.
Murtadha Muthahhari, Akhlah Suci Nabi yang Ummi, Op.Cit., h.180.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.180-181.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.181-182.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.149-150.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.151.
Ibid., h.151-152.
Ibid., h.160.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.162-166.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.170.
Karena memuat tujuh pasang, yang merujuk kepada fakta bahwa “kabar gembira” dan “peringatan” disebutkan secara bersamaan sebanyak tujuh kali.
Murtadha Muthahhari, Ibid., h.171

Tidak ada komentar:

Posting Komentar